Pesatnya perkembangan zaman, menuntut suatu negara untuk mempunyai sumber daya manusia yang mempunyai kwalitas tinggi. Untuk melakukan pembangunan dan membuat suatu perubahan. Dan pemerintah menitikberatkan pada dunia pendidikan.
Di Indonesia, pendidikan tidak murah harganya. Sehingga masih banyak anak-anak usia sekolah dari kalangan bawah tidak bersekolah. Melihat hal tersebut pemerintah tersadar bahwa masa depan negara ini ada ditangan anak-anak tersebut.
Dengan mengurangi anggaran subsidi BBM, pemerintah membuat sebuah program bantuan operasional sekolah yang bisa mendanai anak-anak tidak mampu sekolah dan meringankan beban biaya sekolah. Sayangnya niat baik pemerintah tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Banyak masalah yang timbul. Dan salah satunya adalah contoh kasus dibawah ini.
Malang – Sempat menjadi tahanan kota, Dra Khomsatun, Kepala Sekolah (Kasek) SDN Sidoluhur 1, Kecamatan Lawang, yang terlibat kasus korupsi dana BOS, akhirnya dimasukkan ke LP Lowokwaru, Kota Malang, Selasa, (26/10). Agenda PN Kabupaten Malang Selasa (26/10), adalah sidang tuntutan kasus dugaan korupsi dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 157.500.000 dengan terdakwa Khomsatun. Dipimpin Majelis Hakim Bambang Sasmito SH, sidang siang itu menuntut terdakwa hukuman penjara 5 tahun, denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 157.500.000. Baru bulan November 2009 lalu, kasus ini mulai diusut kejaksaan. Sekitar Januari 2010 lalu, Khomsatun ditetapkan sebagai tersangka, tetapi karena terdakwa sakit, ia tidak ditahan. “Pada penerimaan dana BOS tahun 2005 lalu, jumlah siswa SMP kelas 1 itu hanya 32 orang namun dilaporkan 65 siswa. Dari jumlah keseluruhan siswa SDN Sidoluhur 1 itu hanya 225 namun dilaporkan 299 siswa. Padahal, per siswa dapat Rp 540.000/tahun,” tegasnya. Selain penggelembungan dana BOS, terdakwa juga disangka menilep honor guru dan tata usaha, hingga total kerugian negara sekitar Rp 157.500.000. [1]
Dana BOS juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat.[2]
Hak atas pendidikan itu sendiri adalah hak asasi manusia dan merupakan suatu sarana yang mutlak diperlukan untuk mewujudkan hak-hak lain.[3] Penyelesaian suatu program pendidikan yang sudah ditetapkan dengan memuaskan merupakan prasyarat yang sangat penting untuk akses mendapatkan pekerjaan,[4] sehingga pendidikan dilihat sebagai gerbang menuju keberhasilan. Kesejahteraan yang kuat dapat dilihat antara hak atas pendidikan dan pengembangan penghormatan martabat manusia. Hak atas pendidikan mencakup pendidikan dasar yang wajib dan bebas biaya, pendidikan lanjutan yang berangsur-angsur juga akan dibuat bebas dan dapat dimasuki, serta kesempatan yang sama untuk memasuki pendidikan tinggi. Juga terdapat peran yang semakin besar untuk pendidikan lanjutan/orang dewasa, terutama apabila terdapat penduduk orang dewasa yang buta huruf dalam jumlah yang signifikan. Pada umumnya, negara wajib untuk menyediakan pendidikan bebas biaya, setidaknya pada tingkat dasar. Kesesuaian dengan DUHAM Pasal 26 bukan saja mengharuskan pendidikan bebas biaya, melainkan juga pendidikan wajib. Ini adalah salah satu dari sedikit kewajiban positif yang secara eksplisit dibebankan kepada negara oleh DUHAM. Hak atas pendidikan adalah luar biasa dalam arti bahwa hak tersebut dapat dianalisis melalui berbagai pemangku hak tersebut –anak, guru, orang tua, negara. Anak-anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, guru memiliki hak atas kebebasan akademis untuk memastikan bahwa pendidikan yang layak disediakan, orang tua memiliki hak untuk memastikan bahwa pendidikan yang diterima oleh anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka, dan negara memiliki beberapa hak untuk menentukan standar dan norma pendidikan untuk memastikan pelaksanaan yang layak dari kewajibannya dalam pendidikan. Hak atas pendidikan juga meliputi kewajiban untuk menghadiri sekolah dan mendapatkan pendidikan yang ditawarkan, walaupun hal ini masih dapat dipertentangkan, orang tua juga memiliki kewajiban untuk memastikan anak-anak mereka dididik. Guru mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa pendidikan sesuai dengan standar nasional dan internasional. Dan, akhirnya negara jelas mempunyai kewajiban untuk memastikan tersedianya dana, gedung, dan barang yang dibutuhkan untuk memastikan pendidikan yang layak. Penekanannya adalah pada pemberian pendidikan untuk semua, sehingga demikian, akses ke pendidikan merupakan isu utama. Pendidikan harus tersedia untuk semua tanpa diskriminasi. Komite tentang Hak Anak menganggap diskriminasi sebagai sesuatu yang melanggar martabat seorang anak, dan mungkin bahkan “menghancurkan kapasitas anak untuk mendapatkan manfaat dari kesempatan pendidikan.”
Masalah ini terjadi akibat bahwa didalam implementasinya, fungsi pengawasan sangat kurang. Tidak ada partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses implementasi anggaran di semua tingkat penyelenggara, Kemendiknas, dinas pendidikan, maupun sekolah. Pada tingkat pusat, proses penganggaran pun turut dimonopoli oleh Kemendiknas, akibatnya kepentingan Kemendiknas lah yang lebih terpenuhi, bukan mendahulukan yang perlu.[5] sehingga waktu penyampaiannya lama dan dana pun terus berkurang akibat monopoli dari berbagai pihak. Dan terlambatnya sampai pada pihak sekolah juga memberikan masalah. Masalahnya kepala sekolah harus mencari pinjaman sana-sini untuk menutupi pengeluaran operasional sekolah sebelum dana BOS tersebut sampai dan bisa dicairkan. Sehingga kepala sekolah melakukan manipulasi data kwitansi dan stempel toko. Selain itu, ada juga kepala sekolah yang menambahkan jumlah siswa dalam laporannya.
Masalah ini tidak bisa didiamkan begitu saja karna semakin lama akan sangat merugikan negara. Pemerintah harus melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap orang-orang penanggung jawab dana tersebut. Selain itu, harus adanya transparansi dan melibatkan orang luar seperti orang tua murid agar mengetahui berapa banyak dana yang diterima dan berapa besar dana yang dikeluarkan untuk operasional sekolah. Dan tak lupa hukuman bagi orang-orang yang melanggar atau mencoba memperkaya diri dengan dana tersebut.
Masalah ini bukan hanya melanggar UU Antikorupsi tapi juga melanggar UU Hak anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Ingatlah bahwa “ pendidikan dapat merubah kehidupan sosial dan pendidikan juga merupakan kunci perubahan sosial yang diakui oleh bangsa Internasional” [6]
DAFTAR PUSTAKA
1.http://jurnalberita.com/2010/10/korupsi-dana-bos-kepala-sekolah-dituntut-5-tahun-penjara/
2.Sumber:http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2025338-pengertian-dan-kebijakan-dana-operasional/#ixzzBTHbP8oib
3.Komite mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Komentar Umum 13, dok. PBB E/C.12/1999/10.
4.Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
5.http://arifin-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/03/makalah-permasalahan-pengeloloan-dana.html
6.Tilaar, H. A. R. 2010. perubahan sosial dan pendidikan. Jakarta: Gramedia.
bos.docx |