"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya” (Pramoedya Ananta Toer)
Wejangan yang dapat ditemukan dalam roman Jejak Langkah tersebut sepertinya memang perlu kembali direnungkan. Sebuah renungan yang tak lain untuk dijadikan refleksi atas segala kejadian yang telah terjadi di bumi Indonesia ini. Tidak perlu ramalan sakti Jayabaya untuk menelaah apa yang sedang terjadi saat ini. Hanya dengan menonton televisi, membaca koran, mendengarkan radio, atau sekadar melihat sekitar kita, terkuak sudah bagaimana negeri ini berada dalam suatu kengerian.
Akhir-akhir ini di media sering diberitakan mengenai bentrok antar umat beragama, pembantaian keji tanpa nurani, teror terorisme, dan berbagai tindakan tak bermoral lainnya. Belum lagi berita korupsi yang tak henti-hentinya menyaingi siaran sinetron. Tak perlul disangkal lagi, hal-hal berbau negatif sudah seperti menjadi asupan sehari-hari yang masuk ke otak.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana bisa sebuah negeri yang mempunyai sila-sila agung Pancasila menjadi tercoreng namanya dalam menjalani kehidupannya sendiri? Dilema memang. Tetapi itulah yang terjadi, terlepas dari segala prestasi yang telah diukir oleh anak bangsa, yang tak pernah bertengger lama di halaman media massa. Kebanggaan tinggal kebanggaan, mendung kebrobrokan tetaplah menyambangi.
Pancasila dalam Harapan
Pancasila merupakan simbol persatuan dan kesatuan Indonesia di mana pertemuan nilai-nilai (shared values) dan pandangan ideologi (shared ideas) terpaut dalam sebuah titik pertemuan yang menjadi landasan (common platform) dalam kehidupan sebagai sebuah bangsa1. Dengan menjadinya landasan dalam bernegara, maka Pancasila akan menjadi sebuah pandangan hidup yang terbuka. Menjadi pandangan hidup berarti menjadi pedoman mengenai tatacara berkehidupan yang ideal. Di sinilah, didapatkan bagaimana Pancasila mempunyai tujuan mulia yang hendak dicapai. Dengan kata lain, Pancasila mempunyai idealisme untuk bangsa Indonesia.
Jika dibaca sekilas, kita akan cukup tahu tentang apa maksud dari kelima kalimat dalam Pancasila. Misalnya saja sila Persatuan Indonesia, dengan mudah diketahui bahwa artinya adalah Indonesia yang bersatu. Tetapi, pemahaman dan pengamalan dari sila-sila Pancasila tersebutlah yang tidak bisa dikatakan mudah. Perlu penghayatan mendalam mengenai “aku yang hidup di Indonesia dengan Pancasila”.
Mungkin sebagian orang akan menganggap bahwa Pancasila hanyalah sekadar kata-kata mutiara yang dituliskan begitu saja. Tuntutan formalitas. Suatu hal yang mutlak jika dasar negara dibuat dengan nilai-nilai luhur yang hendak dicapai. Tetapi apakah memang Pancasila dibuat dengan begitu saja? Tunggu dulu.
Sangat perlu dilihat dari segi historis mengenai bagaimana awal mula Pancasila. Pancasila tidak dibuat dengan sepele. Perumusan panjang dari para founding fathers berakhir dengan keputusan mengenai apa yang sebaiknya tertera dalam Pacnasila, seperti yang kita lihat sekarang ini. Harapannya adalah kehidupan rakyat Indonesia yang tetap berpegang terhadap pedoman-pedoman yang telah dibuat, Pancasila. Sayangnya, hal tersebut kurang bisa dicapai secara maksimal.
Idealisme dalam Realita
Di dinding depan kelas paling atas, lambang burung Garuda dengan Pancasila yang terpampang di dadanya selalu menjadi yang paling depan, yang seharusnya sering dipandang, oleh para murid sekolah. Mereka bahkan diwajibkan untuk hafal sila-sila yang ada. Ditambah lagi Pendidikan Kewarganegaraan yang selalu mengajarkan Pancasila, bagaimana memahaminya dan mengamalkannya. Lebih heboh lagi adalah para akademisi yang berdebat panjang lebar mengenai hakekat pengamalan Pancasila. Namun hasilnya tetap nihil. Para pelajar yang seharusnya menjadi garda depan pengamalan Pancasila malah seenaknya tawuran dengan pelajar lainnya. Lebih ironis lagi ketika hal tersebut terjadi di Hari Kemerdekaan Indonesia.
Peledakan bom atau kerusuhan yang mengatasnamakan agama masih saja menjadi isu hangat untuk diperbincangkan. Padahal dalam sila pertama Pancasila dengan jelas dikatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa. Apakah Tuhan itu harus ada di dalam satu agama saja, sehingga memperbolehkan agama tesebut untuk menindas agama lain?
Masih terngiang di kepala mengenai seorang nenek yang harus menjalani hukuman dan membayar denda karena divonis mencuri beberapa buah cokelat. Nenek tersebut harus menjalani berbagai prosesi hukum dan birokrasi yang bertele-tele, hanya karena beberapa cokelat yang berharga tidak lebih dari lima puluh ribu. Sedangkan Gayus Tambunan, koruptor yang telah memakan uang sedemikian banyaknya malah bisa berplesiran pada masa hukumannya. Sungguh ironis jika dikaitkan dengan sila terakhir Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Daerah-daerah di Maluku, Aceh, Papua, sering melontarkan wacana mengenai pembentukan negara baru. Wacana tersebut bukan sekadar wacana ringan, namun suatu hal yang benar-benar serius dan berbalut emosi. Mereka dengan tegas dan berani mengusulkan diri untuk membentuk negara sendiri, bahkan mengancam dengan tindak kekerasan. Bukankah dalam sila ketiga Pancasila ditegaskan Persatuan Indonesia?
Sebagai reaksi atas kebijakan-kebijakan pemerintah, rakyat pun banyak yang melancarkan aksinya dengan berbagai demonstrasi yang anarkis. Melupakan segala hakekat musyawarah mufakat yang tercantum dalam sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Kemiskinan tak pernah luput dari perbincangan, baik itu dalam kampanye pemilihan presiden atau diskusi pengentasan oleh para anggota dewan. Sudah bertahun-tahun negara berupaya untuk memperbaiki hal ini dengan berbagai kebijakan. Sebut saja program Bantuan Langsung Tunai sebagai contohnya. Tetapi proses yang terjadi masih saja tersangkut pada berbagai kasus korupsi. Alhasil, kemiskinan tetap kemiskinan, dan perkataan Adam Smith semakin nyata: yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Sudah tercapaikah sila terakhir Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia?
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan sedikit gambaran fenomena yang biasa terjadi dalam sebuah negara. Namun yang menjadikannya luar biasa terjadi di Indonesia adalah frekuensi kejadiannya yang selalu berulang-ulang, tak cukup hanya sekali. Seakan-akan tidak ada tindak antisipasi ataupun pembenahan terhadap permasalahan sebelumnya, yang terjadi adalah permasalahan yang semakin mengeruh.
Kemudian, bagaimana dengan idealisme Pancasila yang selalu dicita-citakan tersebut? Ya, sebagaimana peranannya sebagai pandangan hidup, Pancasila memberikan patokan-patokan mengenai bagaimana menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal. Tujuan akhirnya tak lain adalah untuk mencapai kesejahteraan bangsa Indonesia sendiri. Di dalamnya tertuang dengan sangat nyata, dari sila satu hingga sila lima2.
Yang menjadikannya kurang relevan dengan kehidupan saat ini pada intinya adalah kurangnya penghayatan dan pengamalan sila-sila Pancasila tersebut. Pancasila hanya diartikan sekadar dasar negara belaka, tanpa melihat esensi dari makna yang terkandung di dalamnya. Pengamalannya terlihat abstrak, jauh dari apa yang diharapkan sebelumnya.
Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila3. Zaman memang sudah berubah, manusianya tetaplah sama. Dalam bukunya, Rizal Malarangeng menyatakan bahwa “kita buat sistem yang menjamin kebebasan agar individu-individu bebas memilih, dan dalam proses memilih terus menerus dalam hidupnya itulah ia menjadi lebih matang, lebih otonom lebih dewasa”4. Selama akal budi manusia masih diutamakan, dapat dikatakan ya. Tetapi mungkin Rizal perlu mengkaji kembali jika dilihat realitanya. Manusia masih menjadi individu bebas, yang bisa melakukan kebaikan dan keburukan. Dan itulah yang terjadi dengan Pancasila, bersama dengan orang-orang mengaku menjunjungnya.
***
1 Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 21.
2 Sedarnawati Yasni, Citizenship (Jakarta: Media Aksara, 2010), hal. 202.
3 Rindu Pancasila: Merajut Nusantara (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hal.
4 Rizal Mallarangeng, Dari Langit: Kumpulan Esai tentang Manusia, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hal.4.
Sumber rujukan lainnya:
Rasyid, Muhammad Ryass. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya Makna, 2007.
Toer, Pramoedya Ananta. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra, 2005.