Front Pembela Islam atau yang lebih dikenal dengan FPI adalah suatu organisasi massa Islam bergaris keras yang berpusat di Jakarta. FPI sendiri dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1998. FPI dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Sejak didirikan sampai sekarang FPI sudah banyak melakukan banyak aksi. Banyak aksi kontroversial yang sudah dilakukan oleh FPI salah satunya Insiden Monas 1 Juni 2008. Pada tanggal 1 Juni 2008 bertepatan dengan Peringatan Hari Lahirnya Pancasila FPI melakukan penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). AKKBB sendiri adalah aliansi ini dibentuk oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. AKKBB bertujuan untuk melakukan kampanye anti kekerasan atas nama agama, dan melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok yang ditindas atas nama perbedaan keyakinan dan agama.[1]
Berikut ini kronologis terjadinya Insiden Monas. Pada tanggal 1 Juni 2008 yang bertepatan dengan Hari Peringatan Lahirnya Pancasila. Bermula ketika AKKBB ingin melakukan aksinya di Monas tetapi tak lama kemudian massa yang beratributkan FPI datang. Massa FPI dengan brutal melakukan penyerangan dan pengrusakan sarana dan prasarana umum. Dalam penyerangan itu FPI tidak memandang korban dari sasaran mereka, banyak perempuan dan anak-anak yang yang menjadi korban. FPI berpendapat bahwa aksi yang dilakukan oleh AKKBB bukan aksi dalam rangka memperingati hari lahirnya Pancasila melainkan aksi tersembunyi dari aliran Ahmadiyah. Ahmadiyah sendiri adalah aliran yang sudah menyebar di banyak Negara salah satunya Indonesia. Ajaran dan kepercayaan mereka memang sedikit berbeda dengan Islam. Maka dari itu FPI dan berbagai ormas Islam ingin Ahmadiyah dibubarkan.
Berdasarkan Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. [2] Dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM), HAM dibagi dalam beberapa jenis, yaitu : hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan), dan hak ekonomi, sosial dan budaya. [3] Indonesia mengatur HAM sesuai dengan yang tercantum didalam UU Nomor 39 Tahun 1999 yang bebrbunyi “Hak asasi manusai adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”[4] Selain itu, HAM juga tercantum didalam Pasal 28 UUD 1945 dan kebebasan beragama tercantum didalam Pasal 29 UUD 1945.
Hakikat mengenai HAM yaitu[5] :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, pandangan politik, atau asal-usul sosial bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansour Fakih, 2003).
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan Tuhan menganugrahi manusia akal budi untuk berfikir dengan baik. Seorang manusia tentunya memiliki martabat yang harus dijunjung tinggi oleh sesamanya. Hak yang melekat pada manusia sejak lahir itu disebut Hak Asasi Manusia, yang tentunya tidak boleh dinodai sedikit pun oleh orang lain. Sekalipun orang lain itu memiliki pangkat, jabatan, kekuasaan, dan kekayaan yang lebih tinggi. Sebagai Negara yang besar Indonesia juga sangat menjunjung tinggi HAM itu sendiri. Meskipun pada kenyataannya masih banyak oknum atau sekelompok masyarakat yang melanggar HAM dari kelompok yang lainnya. Contohnya melalui kasus yang dibahas yaitu Insiden Monas tanggal 1 Juni 2008, Front Pembela Islam (FPI) melakukan penyerangan terhadap AKKBB.
Insiden Monas sangat memilukan hati setiap anak bangsa! Mengapa saya berargumen seperti ini? Karena dihari lahirnya Pancasila justru anak bangsa telah menodainya dengan konflik agama. Didalam kasus ini penyerangan terhadap kelompok yang berbeda keyakinan dan kepercayaan sudah jelas-jelas melanggar Hak Asasi Manusia karena melanggar pasal 28 dan 29 UUD 1945. Terutama penyerangan ini mengatas namakan agama. Agama adalah suatu kepercayaan yang dianut seseorang berdasarkan keyakinan orang tersebut dalam menjalani dan mengimaninya. Setiap orang berhak untuk menganut dan menyakini sesuatu hal yang mereka imani dan anggap benar selama tidak menimbulkan kerugiaan untuk orang lain. Justru dengan adanya bentuk penolakan dari kepercayaan seperti aliran Ahmadiyah berujung pada tindakan anarkis yang merugikan banyak pihak terutama masyarakat yang menganut kepercayaan Ahmadiyah. Masyarakat yang tergabung dalam aliran Ahmadiyah sebenarnya mempunyai hak asasi yang sama dengan masyarakat Islam lainnya untuk berhak memeluk agama dan beribadat sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 28E UUD 1945. Dalam kasus juga tudingan FPI tentang aksi AKKBB pada tanggal 1 Juni 2008 belum dapat dibuktikan kebenarannya bahwa AKKBB melakukan aksinya untuk menyuarakan aliran Ahmadiyah. Sekali pun bernafaskan Ahmadiyah bukankah sah-sah dan wajar saja hal ini terjadi ? Karena Negara kita mengatur kebebasan berpendapat dan berserikat asalkan aliran Ahmadiyah tidak melakukan hal yang merugikan untuk banyak orang terutama Negara.
Salah satu akar permasalahan dalam kasus ini adalah pemerintah terkesan berlarut-larut dalam menyelesaikan konflik agama. Ketidakpekaannya pemerintah terhadap permasalahan HAM sangat tinggi. Dapat dilihat dari pemotongan APBN terhadap tiga lembaga Nasional HAM, Komnas HAM dan KPAI menghadapi pemotongan 30 persen sedangkan Komnas Perempuan sampai 85 persen.[6] Ketiga lembaga ini mempunyai kewenangan yang terbatas dalam menangani kasus HAM padahal kasus dan persoalan HAM semakin kompleks.
Hal yang perlu disoroti juga didalam kasus ini yaitu lunturnya nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila (sila kedua dan keempat) sila kedua Pancasila yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Mengandung nilai bahwa setiap manusia memiliki martabat yang harus dijunjung tinggi oleh sesamanya. Insiden Monas menggambarkan bahwa FPI tidak menghayati sila kedua dikarenakan melakukan penyerangan secara brutal dan merusak sarana dan prasana umum, kurang menghormati hak orang lain, serta melakukan tindak yang tisak berprikemanusiaan. Penghayatan dari sila keempat pun dalam kasus ini sangat kurang dikarenakan dalam penyelesaian masalah kurang ada komunikasi serta mufakat yang baik sehingga kesalahpahaman dapat dengan mudahnya membuat konflik ini berlarut-larut.
Indonesia sebagai Negara yang besar dan multikultur memang memiliki keanekaragaman dari budaya, suku, ras sampai agama. Dalam hal ini perbedaan agama seharusnya tidak dijadikan batu sandungan untuk hidup saling berdampingan dengan damai dan tentram. Semua anggota masyarakat harus senantiasa berkoordinasi dengan baik agar permasalahan seperti Insiden Monas ini tidak terjadi lagi karena merusak citra bangsa. Introspeksi, Penghayatan nilai-nilai Pancasila, dan menghargai HAM sangat diperlukan untuk masing-masing kelompok agar segala upaya untuk mewujudkan Negara yang aman, damai dan tentram dapat benar-benar terwujud.
REFERENSI
Ubaedillah A., et al. DEMOKRASI, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Kencana, 2011.
Yasni Sedarnawati. CITIZENSHIP. Bogor: Media Aksara, 2009.
Srijanti, A. Rahman H.I, Purwanto S.K. Etika Berwarga Negara. Jakarta: Salemba Empat, 2007.
LOK. “ Pemenuham HAM di Ujung Tanduk,” Koran Tempo, 23 November 2012.
”Tentang AKKBB.” http://akkbb.wordpress.com/profil/ (akses 17 Mei 2012)
[1] “Tentang AKKBB,” http://akkbb.wordpress.com/profil/ (17 Mei 2012)
[2] A. Ubaedillah, et al., DEMOKRASI, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 110
[3] Sedarnawati Yasni, CITIZENSHIP(Bogor: Media Aksara, 2009), hal. 246
[4] A. Ubaedillah, et al., DEMOKRASI, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 110
[5] Srijanti, A. Rahman H.I, Purwanto S.K, Etika Berwarga Negara(Jakarta: Salemba Empat, 2007), hal. 122
[6] LOK, “ Pemenuham HAM di Ujung Tanduk,” Kompas, (Rabu, 23 Mei 2012), hal. 4
essay_kwn-_irene_octavia1111002048.docx |