Oleh: Fitri Kumala (1111002042)
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi di Indonesia yang terdiri dari ratusan pulau yang terletak di tenggara Indonesia. NTT terkenal dengan hasil hutannya yaitu kayu cendana dan hasil tambangnya berupa mangan, emas, biji besi, dan panas bumi. Selain itu, NTT juga sangat terkenal karena potensi pariwisatanya dimana terdapat banyak objek wisata mengagumkan disana, diantaranya Pulau Komodo, danau tiga warna di kawasan Gunung Kelimutu dan Taman Laut Maumere. Begitu kayanya kekayaan alam di provinsi ini. Bahkan sejak jaman kependudukan Belanda di Indonesia, NTT telah mendapat perhatian istimewa karena potensi kekayaan alamnya, terutama di sektor pertambangan.
Walaupun memiliki alam yang cantik dan kaya, NTT merupakan daerah yang sulit air. Pernah melihat iklan komersial program corporate social responsibility suatu produk air minum kemasan dengan tagline ‘Sumber air su dekat’? Ya, itu NTT. Selain masalah air minum, beberapa tahun terakhir ini muncul masalah di bidang pertambangan. Masyarakat menginginkan agar pemerintah menertibkan dan mencabut izin eksplorasi berbagai usaha pertambangan di NTT. Apa yang terjadi? Banyak usaha pertambangan di NTT yang ternyata tidak mempunyai izin yang sah. Eksplorasi industri pertambangan juga memakan banyak lahan warga, padahal masyarakat NTT yang mayoritas adalah petani dan peternak sangat membutuhkan lahan sebagai sumber kehidupan. Saat ini banyak lahan pertanian dan peternakan yang telah dikonversi menjadi lahan pertambangan. Wilayah NTT yang memang daerah sulit air juga dianggap tidak mendukung industri pertambangan. Masyarakat berpandangan jika pemerintah tetap memaksakan investasi di industri pertambangan di NTT, maka hampir seluruh masyarakat NTT akan kehilangan lahan dan air yang akan mengancam keberlangsungan hidup mereka. Selain itu, lokasi pertambangan di garis pantai akan mencemari ekosistem laut dan kawasan pariwisata bahari.[1]
Dikutip dari website resmi pemerintah daerah NTT, pada tahun 2008 produk domestik bruto (PDB) regional NTT terbesar merupakan dari sektor pertanian sebesar Rp4.509.240.299.000,00 atau 39,46% dari seluruh produk domestik bruto regional secara keseluruhan. Sektor jasa-jasa menempati urutan kedua dengan produk domestik bruto sebesar Rp 2.694.913.268.000,00 atau 23,58% dari keseluruhan PDB. Sementara sektor pertambangan menyumbangkan Rp148.601.853.000,00 atau 13,01% dari keseluruhan PDB.[2]
Menurut laporan LSM Formadda (Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian) dan Gerakan Reformasi Masyarakat (GERAM), banyak Izin Usaha Pertambangan diterbitkan oleh pemerintah tanpa ada diskusi dengan DPR atau masyarakat setempat yang tanahnya dijadikan objek pertambangan. Pemberian Izin Usaha Pertambangan ini dianggap illegal dan melanggar aturan perundang-undangan minerba. [3]
Kondisi pemerintahan NTT terkait masalah pertambangan ini menimbulkan kekecewaan dan protes dari masyarakat NTT. Lalu, bagaimanakah seharusnya pemerintahan yang ideal? Bagaimana dengan demokrasi? Demokrasi banyak disebut sebagai model pemerintahan terbaik dibandingkan model pemerintahan lainnya. Sudahkah demokrasi dalam pemerintahan NTT?
Secara etimologis “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat, dan cratos, yang berarti kedaulatan. Demokrasi berarti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. [4] Prinsip-prinsip dasar demokrasi merupakan refleksi dari nilai dasar HAM, yang meliputi hak-hak dasar, kebebasan berpendapat, keadilan, persamaan dan keterbukaan.[5]
Dari, oleh, dan untuk rakyat menjadi tiga tolak ukur utama berlangsungnya demokrasi dalam suatu pemerintahan. Tolak ukur pertama yaitu ‘pemerintahan dari rakyat’ sudah pasti terjadi karena bagaimanapun juga orang-orang yang ada di pemerintahan pasti berasal dari rakyat.
Kedua, ‘pemerintahan oleh rakyat’. Pemerintahan oleh rakyat jika diartikan secara literal tidak mungkin terjadi di Indonesia karena rakyat Indonesia yang jumlahnya sangat banyak dan wilayah yang sangat luas. Masalah luas wilayah dan jumlah populasi juga menjadi kendala dalam pelaksanaan pemerintahan secara langsung oleh seluruh rakyat pada pemerintahan di tingkat daerah provinsi. Untuk itu dibentuklah sistem perwakilan dimana rakyat memilih wakilnya untuk duduk di pemerintahan. Sistem perwakilan sudah dilakukan di NTT dan hampir di seluruh pemerintah provinsi di Indonesia dimana pemerintah daerah merupakan orang-orang yang mendapat dukungan terbanyak dan dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. ‘Pemerintahan oleh rakyat’ juga bisa diartikan rakyat bertugas mengawasi pemerintahan. Disinilah peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk membentuk pemerintahan yang ideal, hal ini terlihat dari masyarakat NTT yang aktif mengawasi dan mengevaluasi kebijakan pemerintah melalui lembaga swadaya masyarakat seperti Formadda dan GERAM.
Tolak ukur yang ketiga yaitu ‘pemerintahan untuk rakyat’. Pemerintahan untuk rakyat adalah pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang dititipkan oleh rakyat melaksanakan kebijakan untuk kepentingan rakyat. Terkait dengan masalah pertambangan, pemerintah NTT belum memenuhi tolak ukur demokrasi yang terakhir ini. Sebab, pemerintah NTT menjalankan suatu kebijakan yang tidak mewakili kepentingan rakyat NTT melalui pemberian izin usaha pertambangan yang ditolak oleh masyarakat dan membahayakan kehidupan masyarakat. Pemerintah NTT mungkin beranggapan bahwa industri pertambangan dapat meningkatkan perekonomian NTT dan kesejahteraan masyarakat. Namun, nyatanya rakyat NTT tidak membutuhkan pertambangan. Bisa dilihat dari produk domestik regional bruto NTT pada tahun 2008, sektor pertanian dan jasa-jasa lain memiliki kontribusi lebih besar daripada sektor pertambangan. Masyarakat yang mayoritas adalah petani membutuhkan pemerintah untuk mengembangkan sektor pertanian daripada pertambangan yang mempersempit lahan pertanian. Selain itu, pertambangan memiliki dampak negatif jangka pendek dan jangka panjang bagi masyarakat NTT. Dampak jangka pendek diantaranya lahan pertanian semakin sempit, sumber air semakin sulit, dan pencemaran air laut yang merusak ekosistem laut akan merugikan para nelayan. Dampak jangka panjangnya, semakin banyak eksplorasi pertambangan yang memakan lahan, semakin banyak petani yang kehilangan lahan pertanian yang nantinya mau tidak mau harus bekerja di pertambangan demi kelangsungan hidup. Akhirnya kehidupan masyarakat jadi tergantung pada pertambangan. Kualitas hidup dan kesehatan masyarakat juga semakin menurun karena air bersih semakin sulit didapatkan. Jelaslah bahwa memperbanyak industri pertambangan bukan suatu kebijakan yang mewakili kepentingan rakyat.
Setelah menganalisa ketiga tolak ukur demokrasi, permasalahan tambang oleh pemerintah NTT menuai banyak protes karena belum menjalankan demokrasi secara sepenuhnya. Tolak ukur demokrasi yang masih belum terlaksana dengan optimal adalah ‘pemerintahan untuk rakyat’. Rakyat NTT belum membutuhkan pertambangan, pemerintah sebaiknya lebih fokus kepada pengembangan sektor pertanian dan pengadaan air bersih bagi masyarakat. Dengan sektor pertanian, masyarakat menjadi lebih mandiri untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya daripada menggantungkan hidup kepada perusahaan tambang dengan menjadi buruh di tanah sendiri. Pemerintah harus kembali mengkaji kebijakan-kebijakan yang dibuat agar kebijakan tersebut memang untuk rakyat.
Pemerintah juga terdiri dari manusia yang memiliki kecenderungan melanggar aturan, karena itulah partisipasi aktif masyarakat NTT untuk terus mengawasi dan mengevaluasi pemerintah sangat dibutuhkan. Walaupun pemerintahan di NTT belum menjalankan demokrasi sepenuhnya bukan berarti pemerintahan gagal, karena demokrasi itu sendiri adalah sebuah proses yang harus melalui tahapan trial and error. Semoga hubungan antara pemerintah dan rakyat bisa terus meningkat dan saling bekerjasama untuk menghidupkan demokrasi di NTT dan seluruh wilayah di Indonesia demi terciptanya keadilan yang berlandaskan kebebasan dan keterbukaan.
Sebuah kutipan dari F. Hayek tentang demokrasi:
“Demokrasi bukanlah merupakan tujuan, melainkan sebagai alat untuk menjamin tercapainya tujuan politik yang lebih tinggi, yakni keadilan yang tegak diatas fondasi kebebasan dan kesederajatan.”[6]
[1] “Pemerintah Harap Tertibkan Tambang,” http://www.suarapembaruan.com/home/pemerintah-harap-tertibkan-tambang-di-ntt/18114 (akses tanggal 20 Mei 2012)
[2] BPS Provinsi NTT, http://nttprov.go.id (akses tanggal 25 Mei 2012)
[3] Adiatmaputra Fajar Pratama, “Gubernur NTT Diduga Terbitkan Izin Usaha Pertambangan Ilegal,” http://www.tribunnews.com/2012/05/09/gubernur-ntt-diduga-terbitkan-izin-usaha-pertambangan-ilegal (tanggal akses 21 Mei 2012)
[4] A. Ubaedillah, et al., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hal. 36.
[5] Sedarnawati Yasni, Citizenship (Bogor: Media Aksara, 2010), hal. 367.
[6] Muhammad Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2007), hal. 35.
essay_citizenship_fitri_kumala_1111002042.doc |