Isu korupsi yang terjadi di negeri ini, Indonesia, semakin hari semakin bertambah parah, semakin merajalela. Mulai dari pegawai pemerintahan hingga pada level menteri, banyak sekali kita temukan kasus-kasus penyelewengan dana dan sebagainya. Entah apa yang salah pada system pemerintahan kita hingga semakin banyaknya oknum yang korup.
Dengan niat untuk mengatasi masalah ini, pemerintah sudah melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usaha KPK untuk membongkar kasus-kasus korupsi sudah bisa dibilang mengagumkan. Sejak didirikannya komisi ini pada tahun 2003, telah banyak kasus korupsi yang terungkap dan telah banyak koruptor yang dihukum atas perbuatannya. Fakta ini jelas membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia, karena setidaknya sudah ada bukti jelas bahwa komisi ini berusaha untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Kendatipun begitu, masih banyak pegawai pemerintahan yang melakukan korupsi, bahkan semakin banyak dan dengan cara-cara yang lebih cerdas dan halus. Mereka sudah seperti tak punya malu dan bersikap sangat tenang saat diinterogasi KPK[1]. Koruptor yang telah diadili pun masih mengulangi perbuatannya ketika sudah selesai menjalankan hukuman.
Dengan telah membudayanya korupsi, hukuman yang relative ringan yang diterima para koruptor ini, dan presiden kita yang dinilai terlalu bermurah hati memberikan keringanan ( grasi, amnesty, abolisi ) maka wajarlah bahwa korupsi masih menggerogoti negeri kita. Tidak ada efek jera yang diberikan oleh system hukum kita, walaupun KPK semakin gencar membongkar kasus-kasus korupsi. Maka muncullah isu ini yang merupakan aspirasi dari masyarakat kita sendiri: grasi, amnesty, dan abolisi harus dihilangkan untuk terpidana kasus korupsi.
Isu ini memang menarik untuk dipertimbangkan, mengingat bahwa apabila hal ini dilaksanakan, maka akan menimbulkan ketakutan bagi calon koruptor dan memberikan efek jera bagi terpidana korupsi itu sendiri. Namun timbul pertanyaan : Apakah hal ini benar dan sesuai dengan perundang-undangan kita? Apakah layak untuk mencabut hak para terpidana korupsi ini?
Grasi, Amnesti, dan Abolisi Berikut pengertian dari grasi, amnesty, dan abolisi[2] :
1. Grasi adalah pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana.
2. Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya.
3. Abolisi, merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut.
Penghapusan Grasi, Amnesti, dan Abolisi untuk Koruptor : Layakkah? Masalah penghapusan hak terpidana korupsi ini merupakan masalah pergesekan antara hak koruptor sebagai narapidana untuk mendapatkan keringanan dan hak masyarakat yang telah direnggut oleh perbuatan korupsi itu sendiri.
Ditilik dari nilai-nilai HAM, korupsi sudah pasti merupakan perenggutan HAM, khususnya yang menyangkut hak-hak orang kecil[3]. Tindakan mengambil uang rakyat dari proyek pembangunan, kesehatan, pendidikan, dll, menyebabkan Negara kita tidak mendistribusikan hak rakyat dengan semestinya. Hak masyarakat atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan dan hak atas pendidikan mereka tidak didapatkan secara layak karena anggaran Negara atas fasilitas-fasilitas tersebut malah diambil oleh para koruptor untuk kepentingan diri sendiri, sedangkan hak-hak tersebut telah diakui oleh dunia Internasional dan tercantum dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM)[4].
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok yang disengaja ataupun tidak disengaja atau kesalahan yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok yang dijamin oleh undang-undang dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)[5] . Sesuai dengan definisi di atas maka jelas bahwa korupsi merupakan pelanggaran HAM karena mengurangi, menghalangi, dan membatasi HAM sekelompok orang, yaitu masyarakat.
Namun bila dilihat dari sisi lain, koruptor mempunyai hak yang sama dengan narapidana lainnya dimana mereka berhak untuk mendapatkan grasi, abolisi, dan amnesti. Hak tersebut harus didapatkan oleh semua narapidana tanpa ada diskriminasi dan pembedaan di mata hukum, sesuai dengan yang tercantum pada DUHAM bahwa setiap orang mempunyai hak kedudukan yang sama di dalam hukum[6] .
Bila ditinjau dari segi prosedur pemberian keringanan, syarat seorang narapidana dapat direkomendasikan untuk mendapatkan grasi, amnesty, dan abolisi adalah bila ia berkelakuan baik. Memang makna kata ‘berkelakuan baik’ menjadi bersayap dan tidak jelas. Namun setidaknya dengan menjalankan hukuman dengan sebagaimana mestinya dan tidak menimbulkan masalah selama masa tahanan dapat merefleksikan penyesalan mereka dan keinginan untuk menerima konsekuensi dari tindakan mereka. Niat baik ini tentu pantas diapresiasi dalam bentuk pemberian keringanan, disamping fakta bahwa keringanan-keringanan tersebut juga merupakan hak mereka.
Meskipun ditolak oleh beberapa pihak, pemberian hak-hak narapidana kepada koruptor tersebut masih dibenarkan, karena menurut konstitusi yang berlaku di Indonesia tidak ada pembedaan perlakuan narapidana di mata hukum apapun tindak pidana yang dilakukan. Tidak ada konstitusi yang memberi pengecualian tindak pidana tertentu untuk tidak mendapatkan keringanan hukum.
Kesimpulan dan Saran Dari analisis yang telah dijabarkan di atas, memang korupsi merupakan pelanggaran HAM dan menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap masyarakat, khususnya masyarakat kecil, dan Negara secara keseluruhan. Namun, koruptor juga mempunyai hak yang juga tidak bisa diabaikan sebagai narapidana, yaitu mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Karenanya tidak semudah itu untuk menghapuskan grasi, amnesty, dan abolisi bagi terpidana kasus korupsi. Sudah ada system hukum kita untuk menghukum para koruptor yang mengambil hak rakyat tersebut, sehingga akan terlalu berlebihan bila ditambah dengan pencabutan hak nya untuk mendapat keringanan. Di samping itu, tidak ada justifikasi untuk penghapusan ini, karena tidak ada konstitusi di Indonesia yang membedakan kejahatan tertentu yang pelakunya tidak bisa mendapatkan keringanan.
Jadi, penghapusan grasi, amnesty, dan abolisi untuk terpidana korupsi tidak bisa dilaksanakan. Tidak ada alasan serta landasan yang cukup kuat untuk mencabut hak mereka sebagai narapidana untuk mendapatkan keringanan dan sebagai individu yang mempunyai hak untuk mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.
Namun demikian disarankan kepada presiden untuk mempertimbangkan pemberian grasi, amnesty, dan abolisi ini kepada koruptor dengan sangat cermat. Karena memang saat ini belum ada efek jera yang cukup besar bagi koruptor untuk menghentikan tindak korupsi karena masyarakat menilai presiden terlalu bermurah hati memberikan keringanan-keringanan kepada terpidana kasus korupsi.
[1]“Busyro: Koruptor Zaman Sekarang Lebih ‘Cool’”, http://nasional.kompas.com/read/2012/05/25/21514789/Busyro.Koruptor.Zaman.Sekarang.Lebih.Cool
( tanggal akses 26 Mei 2012)
[2] “Kewenangan Presiden dalam Memberikan Remisi terhadap Napi Extra Ordinary Crime”, http://nilasapi.blogspot.com/2011/10/kewenangan-presiden-dalam-memberikan.html (akses tanggal 30 Mei 2012)
[3] Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Republik “Kaum Tikus” (Jakarta: EDSA Mahkota, 2005), hal.89-90
[4] Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: ICCE UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, 2011) , hal.114
[5] Sedarnawati Yasni, Citizenship (Bogor: Media Aksara, 2010), hal.262.
[6] Sedarnawati Yasni, Citizenship (Bogor: Media Aksara, 2010), hal.248
penghilangan_grasi_utk_koruptor.docx |