Issues and Facts
Negara merupakan aset bangsa yang harus dipertahankan dan dijaga dengan sistem pemerintahan yang baik. Sikap nasionalisme dan patriotisme perlu ditumbuhkan untuk mewujudkan bangsa yang berkompeten dan berintegritas sehingga dapat mewujudkan sistem pemerintahan yang baik.
Dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila, Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Demi terwujudnya cita-cita tersebut, Indonesia membutuhkan subyek-subyek yang mempunyai integrasi nasional, yaitu suatu proses politik dan budaya yang berencana, dan sangat kompleks, berjangka panjang dan dinamis untuk menyatukan berbagai komponen negara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional.[1]
Dalam meraih cita-cita tersebut, rakyat memiliki banyak pilihan cara, salah satunya yaitu memilih terjun dalam dunia politik Indonesia. Rakyat menyadari bahwa regenerasi kepemimpinan bangsa merupakan hukum sejarah yang tidak dapat dihindari. Demi mempermudah sepak terjang dalam kehidupan politik, calon pemegang kekuasaan negara tersebut dapat memilih bergabung dengan partai politik yang telah didirikan sejak zaman Orde Baru atau memilih untuk mendirikan partai baru karena ketidaksamaan tujuan dengan partai-partai yang telah ada sebelumnya.
Sebagian dari anggota partai politik tersebut adalah para generasi muda yang masih mempunyai jiwa semangat yang tinggi dan kecermelangan gagasan. Para politisi muda diharapkan mempunyai integritas yang tinggi sehingga dapat menjadi pemimpin bangsa yang baik. Sebagai awalnya, mereka perlu bahu-membahu untuk mendapatkan citra yang baik di mata masyarakat melalui kinerja mereka di partai politik.
Namun, kasus korupsi yang melibatkan beberapa politisi muda menurunkan citra serta kepercayaan masyarakat kepada politisi muda pada umumnya. Kurangnya kesabaran saat berproses dan politik yang cenderung mengandalkan kekuatan uang diduga menjadi sebab sejumlah politisi muda korupsi. Politisi muda yang belakangan sering diberitakan terlibat kasus korupsi, antara lain, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, anggota DPR dari Partai Demokrat, Angelina Sondakh, dan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati.[2]
Citra politisi muda ini ternyata berimbas kepada ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Pandangan negatif terhadap parpol terungkap dalam jajak pendapat Maret 2012 yang disuarakan oleh 80,4% responden. Selain faktor perilaku korupsi para kader parpol, kinerja parpol juga dinilai mayoritas responden tidak membaik, yakni belum berpihak kepada kepentingan rakyat.[3]
Rules
Politik adalah institusi sosial yang mempunyai hak untuk menyalurkan kekuasaan, menentukan tujuan bersama dan membuat keputusan yang berpengaruh terhadap kepentingan bersama.[4] Peran parpol adalah untuk menggabungkan dan kemudian mewakili kepentingan-kepentingan sosial, menyediakan struktur bagi partisipasi politik. Mereka bertindak sebagai lahan pelatihan bagi pemimpin-pemimpin politik yang kemudian akan mengambil peran dalam memerintah masyarakat. Selain itu pula, partai-partai politik bersaing dan melakukan berbagai upaya untuk memenangkan pemilu untuk mengelola institusi-institusi pemerintahan.[5]
Kekuasaan (power) adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain. Sedangkan wewenang (authority atau legalized power) ialah kekuasaan yang ada pada seseorang atau kelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.[6] Kepercayaan dapat timbul sebagai hasil hubungan langsung antara dua orang atau lebih yang bersifat asosiatif.[7]
Max Weber mengemukakan perbedaan antara wewenang kharismatis, tradisional, dan rasional. Kharisma semakin meningkat sesuai dengan kemampuan individu yang bersangkutan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan pengikut-pengikutnya akan menikmati.[8]
Analysis
Dengan menerapkan sistem multipartai, bangsa Indonesia berharap akan menemukan sosok pemimpin yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi Indonesia. Partai politik merupakan implementasi dari nilai-nilai demokratis, sehingga bangsa Indonesia patut berharap besar dengan keberadaan partai politik yang beranggotakan rakyat yang telah sadar politik ini akan menghasilkan politisi-politisi muda yang berintegritas, kompeten, dan independen.
Mekanisme politik menempatkan partai politik sebagai institusi yang akan melahirkan kepemimpinan nasional. Namun, tergerusnya citra dan rendahnya kinerja parpol memengaruhi harapan publik akan regenerasi kepemimpinan nasional yang sehat. Sangat minim sosok berintegritas yang muncul dari parpol.
Keterpurukan nilai politisi muda di mata publik ini mungkin disebabkan oleh budaya yang dibangun pada rezim Orde Baru, yaitu politisi cenderung mempraktikkan perilaku KKN dalam mendapatkan kekuasaan. Hal ini sepenuhnya bukanlah kesalahan para politisi muda, tetapi para senior merekalah yang sepatutnya lebih disalahkan, karena para senior dinilai tidak mampu melakukan kaderisasi untuk menjadikan politisi muda yang baik dan jujur. Politisi senior juga dianggap tidak ikhlas untuk melepas kekuasaannya, hal ini terbukti dengan munculnya calon pemimpin bangsa ini pasca reformasi hanya nama-nama politisi senior itu-itu saja.
Harapan publik akan munculnya sosok politisi muda yang berintegritas disebabkan kekurangpercayaan mereka dengan politisi senior yang sebagian besar merupakan bekas elite politik pada rezim Orde Baru. Politisi senior dianggap korup sehingga perlu peran generasi muda untuk menggantikan posisinya.
Namun, masalah yang diakibatkan oleh gagalnya kaderisasi politisi muda yang berintegritas ini menyebabkan publik menjadi kurang percaya dengan parpol yang cenderung membujuk kader-kadernya untuk mementingkan kepentingan parpol dari pada rakyat. Perilaku menyalahgunakan aset negara demi kepentingan parpol merupakan bagian dari ketidaksabaran politisi muda untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan sesaat. Hal ini membuktikan bahwa terjadi menyimpang pada peran parpol yaitu menggabungkan dan kemudian mewakili kepentingan-kepentingan sosial, menyediakan struktur bagi partisipasi politik sehingga aspirasi rakyat tersalurkan secara teratur.[9] Partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri. Seperti dikemukakan oleh Robert Michels sebagai suatu hukum besi yang berlaku dalam organisasi bahwa[10],
“Organisasilah yang melahirkan dominasi si terpilih atas para pemilihnya, antara si mandataris dengan si pemberi mandat dan antara si penerima kekuasaan dengan sang pemberi. Siapa saja yang berbicara tentang organisasi, maka sebenarnya ia berbicara tentang oligarki”.
Pada suatu saat, politisi muda yang sedang mencari kekuasaan tidak salah jika ia terjun bersaing dengan politisi senior, karena dia sedang menaiki jenjang karier politiknya. Namun, menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Bahtiar Effendi, memperkirakan bahwa mayoritas masyarakat akan masih menginginkan tokoh-tokoh senior yang sudah memiliki pengalaman lebih lama dalam dunia politik, sehingga pada Pemilihan Umum 2014 diperkirakan tidak ada calon dari generasi muda.[11]
Kekecewaan publik terhadap perilaku politisi muda ini menandakan bahwa politisi muda perlu memperbaiki citranya dengan mengaplikasikan kemampuan individunya untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat, dan pengikut-pengikutnya akan menikmati.
Conclusion
Dari analisis di atas, akan lebih baik jika politisi mempunyai inisiatif untuk membangun citra baiknya dengan menahan kesabarannya dalam menikmati kepentingan sesaat dan memberi manfaat kepada masyarakat seperti tokoh-tokoh muda luar parpol, yaitu Anies Baswedan, Dahlan Iskan, dan Mahfud MD. Dengan demikian, kemungkinan besar publik akan percaya bahwa masih ada tokoh-tokoh muda dari parpol yang mempunyai kharakter bersih dan berintegritas.
[1] Sedarnawati Yasni, Modul Bahan Ajar: Citizenship (Bogor: Media Aksara, 2009), hal.43.
[2] “Kecewa Politisi Muda“, Kompas, 19 Mei, 2012, hal. 3.
[3] Yohan Wahyu, “Yang Muda dan Berintegritas”, Kompas, 28 Mei, 2012, hal. 5.
[4] John J. Macionis, Sociology (United States of America: Pearson, 2010), hal. 458.
[5] Ivan Doherty, “Demokrasi Kehilangan Keseimbangan”, National Democtaric Institute Journal, hal. 8 – 9.
[6] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 228.
[7] Ibid., hal. 223.
[8] Max Weber, Types of Authority, dalam Sociological Theory, diedit oleh Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg (New York: The Macmillan Company, 1964), hal. 129 – 134.
[9] A. Ubaedillah, et al., Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 50-51.
[10] Lihat Kata Pengantar Seymour Martin Lipset, dalam Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984, hal. xxvii.
[11] “Tidak Ada Pemimpin Muda”, Kompas, 28 Mei, 2012, hal. 4.
politisi_muda_kecewakan_publik_satya_novi_hastuti.pdf |