Oleh: Romi Darmawan (1111002063)
Indonesia adalah sebuah negara yang besar. Negara yang terdiri dari berbagai suku, bangsa ras, agama dan budaya. Indonesia juga memiliki jumlah penduduk yang besar, yaitu lebih dari 240 juta. Banyaknya perbedaan serta tingginya jumlah penduduk, menjadi salah satu masalah bagi Indonesia dalam menerapkan pemerintahannya. Demokrasi merupakan sebuah bentuk pemerintahan politik yang cocok untuk Indonesia, yaitu suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang terplih.[1] Indonesia sendiri menggunakan prinsip demokrasi langsung, yaitu demokrasi yang menunjukkan bahwa rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara yang dilakukan secara langsung, badan legislatif sebagai lembaga pengawas, dan pemilihan pejabat eksekutif oleh rakyat melalui pemilu.[2]
Dalam penerapannya, demokrasi di Indonesia tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ya, kebebasan dalam berpendapat dapat diartikan bermacam-macam, salah satunya golput. Golput (golongan putih) adalah salah satu bentuk dari kebebasan berpendapat itu sendiri, kebebasan berpendapat untuk tidak berpendapat. Golput menjadi salah satu isu terbesar dalam demokrasi, termasuk juga di Indonesia. Golput menjadi masalah karena dengan adanya golput, pemerintahan berjalan kurang efektif dikarenakan tidak semua aspirasi masyarakat tersampaikan.
Golput merupakan isu yang sudah beredar sejak lama. Istilah golput (golongan putih) pertama kali muncul pada Pemilu 1971. Istilah ini sengaja dimunculkan oleh Arief Budiman dan kawan-kawannya sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan politis kepada Golkar. Arogansi ini ditunjukkan dengan memaksakan (dalam bentuk ancaman) seluruh jajaran aparatur pemerintahan termasuk keluarga untuk sepenuhnya memberikan pilihan kepada Golkar. Arogansi seperti ini dianggap menyimpang dari nilai dan kaidah demokrasi di mana kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat yang memilih. Ketika itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah.[3]
Berdasarkan data yang saya peroleh, bahwa dalam Pilkada Gubernur Kalimantan Timur pada tahun 2008, bahwa pemilu harus dilakukan dua putaran karena calon dengan suara tertinggi hanya memperoleh 27,78% dari 100% suara yang masuk. Sedangkan angka partisipan hanyalah 68,5% dari 100% penduduk yang memiliki hak suara di Kalimantan Timur. Asumsi jika penduduk Kalimantan Timur 1.000 orang, maka 315 orang golput dan calon penerima suara tertinggi hanya memperoleh 190 suara. Hal ini membuktikan bahwa tingkat golput di Kalimantan Timur cukup tinggi. Dengan hasil ini maka pilkada harus diadakan dua kali, karena tidak ada satupun calon yang memperoleh suara diatas 30%, yang berarti cukup merugikan negara karena biaya untuk mengadakan sebuah pemilu tidaklah sedikit. [4]
Bukti lain adalah pemilu presiden pada tahun 2009. Dari data yang saya peroleh, bahwa ada 49.212.161 dari 176.411.434 penduduk yang memiliki hak memilih, namun tidak menggunakannya. Ini berarti 27,89% penduduk tidak menggunakan hak pilihnya[5]. Jumlah yang cukup besar, mengingat jumlah penduduk Indonesia adalah yang terbesar keempat di Indonesia.
Data-data diatas merupakan sampel dari keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, golput merupakan sebuah masalah yang cukup merugikan, baik untuk negara maupun rakyatnya. Dengan tingginya angka golput maka dapat disimpulkan bahwa rakyat tidak peduli pada negaranya. Ini tidak lain karena mereka mempunyai suara untuk mempengaruhi pemerintahan, namun mereka memilih tidak menggunakannya. Hal ini juga dapat menjadi cerminan bahwa demokrasi di negara tersebut mengalami kegagalan. Menurut saya sendiri, ada beberapa hal yang dapat menjadi alasan seseorang golput, diantaranya :
1. Tidak Peduli
Ini adalah alasan klasik seseorang golput. Ya, mereka tidak peduli pada pemerintahan yang ada. Mereka mengganggap bahwa satu suara yang mereka miliki tidak berarti apa-apa. Padahal, satu suara sangatlah berpengaruh untuk kemajuan pemerintahan negara tersebut. Asumsi-asumsi seperti ini dapat disebabkan oleh faktor pendidikan masyarakat. Pemerintah harus melakukan sosialisasi di kalangan masyarakat pedesaan, serta meyakinkan masyarakat bahwa satu suara yang mereka miliki sangatlah berarti.
2. Tidak Sah
Ini adalah sebab kedua mengapa tingkat golput di Indonesia cukup tinggi. Suara yang tidak sah dianggap golput karena dengan cacatnya suatu suara maka suara tersebut tidak dianggap. Contoh dari suara yang tidak sah seperti mencontreng lebih dari satu kandidat, mencontreng diluar area kandidat dan lain-lain. Ini bisa jadi karena mereka tidak menyukai satupun kandidat, bisa juga karena mereka tidak mengerti bagaimana tata cara memilih suatu kandidat. Lagi-lagi peran aktif pemerintah dibutuhkan dalam kasus ini. Informasi yang jelas serta sosialisasi ke daerah-daerah haruslah dilakukan demi meminimalisir masalah ini.
3. Tidak Percaya
Krisis kepercayaan terhadap pemerintah dapat menjadi penyebab masyarakat tidak menggunakan haknya. Ini bisa jadi karena pengalaman-pengalaman sebelumnya, ataupun calon-calon yang kurang berkualitas atau kurang dikenal. Hal ini juga bisa disebabkan oleh isu tentang SARA (Suku, Agama, Ras dan Budaya) ataupun hal-hal yang terkait dengannya. Sebagai contoh masyarakat di daerah Jawa enggan memilih calon dari daerah lain.
Beberapa hal diatas menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia belumlah berjalan seperti yang seharusnya. Golput merupakan sebuah isu serius yang harus diatasi. Memang golput adalah salah satu bentuk penyaluran pendapat, yaitu tidak berpendapat, namun hal ini sangatlah merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya Indonesia meninggalkan sistem demokrasi dahulu untuk sementara waktu. Selain karena tidak efektif, pemerintah juga harus menghilangkan krisis kepercayaan yang terjadi di masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan juga harus dilakukan oleh pemerintah, demi memunculkan kesadaran diri dalam setiap warga masyarakat. Peran aktif dari pemerintah juga harus dilakukan, agar masalah ini dapat teratasi dengan cepat.
[1]Ali Irfan, Budiman, Farida Hamid d.k.k., Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani Edisi Ketiga, Indonesian Center for Civic Education (ICCE), Jakarta 2008, Hlm. 36.
[2] Sedarnawati Yasni, Citizenship, Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT), Bogor 2009, Hlm. 369.
[3] Blogspot online. “Tentang Golput 1 : Pengertian Secara Umum”, http://leo4kusuma.blogspot.com/2008/12/tentang-golput-1-pengertian-secara-umum.html, diakses pada 31 Mei 2012
[4] Lembaga Survei Indonesia online, “Update Hasil Pilkada Kaltim : Akan Ada Putaran Kedua”, http://www.lsi.or.id/riset/339/pilkada-kaltim-akan-ada-putaran-kedua , diakses pada 31 Mei 2012
[5] Komisi Pemilihan Umum online, “Bagian 5 : Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, http://www.kpu.go.id/dmdocuments/saku_n.pdf, diakses pada 31 Mei 2012
citizenship_-_romi_darmawan_-_1111002063_-_akuntansi_2011.docx |