Permulaan era reformasi di Indonesia yang ditandai dengan lengsernya kekuasan Orde Baru sangatlah erat kaitannya dengan lahirnya suatu kata yang saat ini sangat lazim diketahui, didengar, bahkan diucapkan oleh hampir setiap rakyat Indonesia, yaitu demokrasi. Sejak peristiwa itulah, harapan setiap rakyat Indonesia dalam terciptanya suatu pemerintahan yang memihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat kembali dikumandangkan, sesuai dengan nilai, tujuan dan cita-cita dari demokrasi. Penekanan akan kata lahirnya demokrasi disini menjadi hal yang seakan menggelitik untuk didengar, karena ternyata fakta yang ada menunjukkan bahwa istilah demokrasi telah ada sejak Indonesia merdeka. Ya, di dalam panggung sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang panjang dan berliku hingga detik ini pun, demokrasi telah berjalan dengan setia dalam mengiringi bangsa Indonesia dan menjadi saksi bisu jatuh-bangunnya setiap penguasa yang memimpin negara ini.
Fakta ini menarik untuk disimak bila kita kembali menelaah lebih jauh tentang apa sebenarnya demokrasi itu dan untuk apa demokrasi itu diciptakan. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos, yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan cratein dan cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Dan berdasarkan gabungan dari kedua kata ini memiliki arti bahwa demokrasi merupakan suatu sistem kekuasaaan atau pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Istilah demokrasi itu sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Dari penjelasan singkat ini tentunya kita sudah bisa menyimpulkan bahwa makna terciptanya demokrasi tersebut ujung-ujungnya adalah demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat dari pemerintahan yang menjalankannya. Dan bila ingin tahu lebih jauh tentang permasalahan sebenarnya dalam penerapan demokrasi, kita wajib untuk mengupasnya lebih fokus dan mendalam, agar kita bisa menarik benang merah, mengapa penerapan demokrasi di Indonesia tidak bisa berjalan sesuai dengan nilai, cita-cita dan tujuan dari terciptanya demokrasi.
Perjalanan dan sejarah demokrasi di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak negeri ini merdeka, dimana sudah berbagai macam demokrasi yang dipakai dan diterapkan di negeri yang berbhineka ini. Secara garis besar, sejarah demokrasi di Indonesia terbagi dalam empat periode: periode 1945-1959 (Demokrasi Parlementer/Liberal), periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin), periode 1965-1998 (Demokrasi Pancasila) dan periode setelah tahun 1998-sekarang (Demokrasi pasca Orde Baru). Dan dari masing-masing periode demokrasi tersebut pun memiliki kelebihan dan kelemahan yang pada dasarnya memberikan pelajaran yang berharga bagi kemajuan dalam pembelajaran demokrasi negara kita.
Dimulai dari negara Indonesia merdeka, model demokrasi yang digunakan adalah Demokrasi Parlementer/Liberal, dimana pemerintahan pada masa itu dijalankan oleh berbagai kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri dan mereka harus jatuh-bangun dalam menjalankan pemerintahannya. Dalam periode yang penuh gejolak dan gonta-ganti pemimpin ini sebenarnya sudah memperlihatkan berbagai ragam pribadi dari para pemimpin pemerintahan beserta pemikiran mereka yang cemerlang dalam memimpin Indonesia dengan sistem demokrasi parlementer ini. Namun dalam perjalanannya, alih-alih berjalan sukses, pemerintahan yang ada pun dijatuhkan oleh parlemen berikutnya dengan mosi tidak percaya. Kegagalan penerapan demokrasi pada periode ini lebih dikarenakan Demokrasi Parlementer/Liberal lebih bersifat kepada budaya demokrasi yang bermodel Barat yang bersifat bebas dan kurang sesuai dengan budaya demokrasi Timur yang masih mengutamakan kepentingan bersama. Hal inilah yang memicu dimulainya Demokrasi Terpimpin yang dideklarasikan oleh Presiden Soekarno.
Lahirnya Demokrasi Terpimpin ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dan dengan dikeluarkannya dekrit tersebut, berakhirlah periode Demokrasi Parlementer/Liberal dan digantikan oleh Demokrasi Terpimpin yang memosisikan Presiden Soekarno sebagai pusat kekuasan negara. Pada periode ini, dominasi politik dalam diri Presiden Soekarno berkembang menjadi tidak terbatas karena ditetapkannya ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup. Hal inilah yang menjadi kegagalan utama dalam periode ini dikarenakan hal ini jelas-jelas mengingkari nilai-nilai dasar demokrasi, yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri seorang pemimpin. Dalam hal ini juga terjadi pencideraan nilai demokrasi ketika Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1960 yang secara nyata menyalahi UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan bahwa presiden tidak berhak dan tidak memiliki wewenang dalam melakukan hal tersebut. Pembubaran ini secara tidak langsung menghilangkan kontrol sosial dalam pemerintahan dan fungsi check and balance dari legislatif terhadap eksekutif selaku pelaksana kegiatan pemerintahan.
Dalam perjalanannya pun Demokrasi Terpimpin tidak berjalan dengan mulus. Kuatnya pengaruh sosialis dan komunis dalam diri Partai Komunis Indonesia (PKI) seakan menjadi duri dalam daging dalam pemerintahan Presiden Soekarno yang pada masa itu, pemerintahan kita lebih condong ke arah politik sosialis komunis yang berpusat di China dan dengan terkenal akan slogan yang khas pada masa keemasaannya, Nasakom (Nasonalis, Agama dan Komunis). Puncaknya pun terjadi pada perseteruan berdarah antara PKI dan TNI yang terkenal dengan gerakan 30 September 1965, yang secara berangsur-angsur menjadi pemicu utama runtuhnya kekuasaan tak terbatas dari Presiden Soekarno sendiri. Dan dibarengi dengan maraknya demonstrasi dan kerusuhan di hampir seluruh Indonesia, dikarenakan demokrasi sudah tidak lagi pada tujuannya, yakni demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat (peristiwa Tritura), momentum peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto pun mengakhiri masa-masa keemasan periode demokrasi ini.
Tepat pada 27 Maret 1968, sesuai dengan hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No. XLIV/MPRS/1968) Soeharto diangkat menjadi presiden setelah sebelumnya menjabat sebagai penjabat presiden selama 2 tahun. Dengan pengangkatan ini, dimulailah babak baru periode demokrasi yang berikutnya, yakni Demokrasi Pancasila. Demokrasi ini secara garis besar menawarkan pencerahan dan pengharapan baru bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dengan ditawarkannya tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi di bidang politik yang hakikatnya menegakkan kembali asas-asas dan kepastian hukum. Kedua, demokrasi di bidang ekonomi yang hakikatnya adalah penghidupan yang layak bagi semua warga negara. Dan ketiga, demokrasi di bidang hukum yang hakikatnya adalah pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas dan tidak memihak. Namun, lagi-lagi rakyat Indonesia dibuat kecewa, alih-alih pelaksanaan nilai Pancasila yang nyata, murni dan konsekuen, demokrasi ini hanya sebatas retorika politik semata. Seperti dikutip dari pernyataan M. Rusli Karim, ketidakdemokratisan penguasa pada masa ini ditandai oleh : (1) dominannya peran ABRI; (2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik; (3) pengebirian peran dan fungsi dari partai politik serta campur tangan pemerintah dalam partai politik; dan (4) monolitisasi ideologi negara.
Puncak dari bobroknya demokrasi ini kembali ditandai dengan kekuatan rakyat (people power), yang dalam hal ini mahasiswa kembali berperan besar, dalam meruntuhkan dinasti Orde Baru yang telah berjalan selama hampir 32 tahun. Dan pada era ini, yang dikenal dengan era reformasi, yang kalau kita ingat di awal tulisan ini bahwa adanya harapan dimulailah bab baru dari demokrasi yang sesungguhnya dan diharapkan oleh setiap rakyat Indonesia. Pada masa ini, rakyat Indonesia berharap akan tercapainya cita-cita demokrasi yang mengutamakan kepentingan rakyat. Namun lagi-lagi, seperti pada periode yang sudah-sudah, cita-cita demokrasi ini dalam perjalanannya hingga detik ini, belum juga secara nyata dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Korupsi, yang nyata-nyata dilakukan oleh anggota partai yang berkuasa saat ini, kurangnya perlindungan HAM, diskriminasi dan pemihakan dalam hukum, bahkan masih banyak rakyat yang dikategorikan jauh dari kata sejahtera seakan-akan merusak cita-cita reformasi yang termaktub dalam nilai dan tujuan demokrasi. Dan dalam kurun waktu 14 tahun sejak dimulai era reformasi, sudah empat presiden yang bergantian menjabat dan memimpin bangsa ini dalam membawa Indonesia ke dalam cita-cita demokrasi, namun belum juga ditemukan formula yang pas dalam meracik penerapan demokrasi yang sesuai dengan cita-cita dan tujuannya. Layak kita tarik kesimpulan, bahwa masih belum ada yang mampu dalam mengartikan cita-cita demokrasi dan menerapkannya di negeri kita tercinta ini. Mungkin kelak, akan muncul generasi penerus yang akan meneruskan dan bahkan mewujudkan cita-cita demokrasi ini. Karena itu, tentunya kita tidak boleh berhenti berharap bahwa suatu saat nanti akan tercipta suatu sistem demokrasi yang baik yang diwujudkan oleh orang tepat dalam tujuan dan cita-cita demokrasi yang didambakan oleh setiap rakyat Indonesia. Satu kata yang bisa merangkum hal ini, bahwa demokrasi itu masih dan akan terus ada.
Referensi
Abdulkarim, Aim. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan ‘Membangun Warga Negara yang Demokratis’. Jakarta: Grafindo
Budiarto, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia
Kaelani. 1999. Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma
Suseno, Frans Magnis.1997. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Yasni, Sedarnawati. 2010. Modul Bahan Ajar ‘Citizenship’. Jakarta: Media Aksara
essai_kewarganegaraan.docx |