Oleh: Arief Setiadi Wirasukma (1111002044)
Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, dan agama yang dapat hidup dengan saling menghormati satu sama lainnya. Akan tetapi belakangan ini sedang terdengar kabar yang mencoreng toleransi di Bumi Pertiwi, pencorengan toleransi antar masyarakat ini disebabkan oleh sebuah organisasi massa yang mengatasnamakan keagamaan garis keras yang cenderung anarkis dalam menjalankan aksinya. Mulai dari kasus kekerasan yang terjadi di Ciketing Bekasi yang dilakukan oleh Organisasi tersebut kepada Kelompok Non Muslim beberapa tahun lalu, pembubaran paksa diskusi peluncuran buku Irshad Manji yang berjudul “Iman,Cinta dan Kebebasan” yang diikuti oleh ancaman kekerasan di kawasan Jakarta Selatan awal Mei lalu, sampai protes penolakan dan ancaman kekerasan pada konser penyanyi luar negeri Lady Gaga yang rencananya akan diselenggarakan awal Juni ini.
Indonesia sendiri sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia akan tetapi negara Indonesia bukanlah negara Islam, Indonesia adalah negara demokrasi dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara. Di Indonesia, hubungan Islam dan negara bersifat antagonis, yaitu adanya ketegangan antara negara dengan islam sebagai sebuah agama, atau bersifat akomodatif, yaitu hubungan agama dan negara satu sama lain saling mengisi, bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi konflik.[1]
Sebagai negara demokrasi, Indonesia juga menjamin akan kebebasan dan hak asasi warga negaranya seperti yang tertera pada Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Dasarr 1945.
- Pasal 27 ayat (1) : Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinnya
- Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang
- Pasal 28(A) : Setiap Orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
- Pasal 28E ayat (1) : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
- Pasal 28E ayat (2) : Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini dengan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya
- Pasal 28E ayat (3) : Setiap Orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeleuarkan pendapat.[2]
- Hak Untuk Hidup
- Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
- Hak mengembangkan diri
- Hak memperoleh keadilan
- Hak atas kebebasan pribadi
- Hak atas rasa aman
- Hak atas kesejahteraan
- Hak turut serta dalam pemerintahan
- Hak wanita
- Hak anak[3]
Berdasarkan pengertian pelanggaran HAM tersebutlah dapat disimpulkan bahwa kasus yang dilakukan oleh Organisasi Massa yang menggunakan kekerasan/anarkis dalam menjalankan aksinya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Mulai dari kekerasan di Ciketing, Bekasi beberapa tahun lalu yang dilatarbelakangi oleh penyegelan rumah ibadah oleh Pemerintah Kota Bekasi dan tidak boleh digunakan untuk rumah ibadah. Namun para jemaat melepas segel tersebut dan tetap beribadah di tempat itu. Maka pada 10 Juli 2010, pemkot melakukan segel kedua. Kemudian para jemaat meelaksanakan ibadah di lahan kosong milik salah satu jemaat di desa Mustika Jaya, Sampi akhirnya terjadi penolakan dari organisasi masyarakat dan menimbulkan aksi penusukan pendeta dan kekerasan.[5] Sampai ada pula yang menyebutkan versi lain latar belakang kasus tersebut yakni dari provokasi umat non muslim[6] hingga memicu kemarahan Organisasi Massa sehingga bersifat anarkis. Namun, berdasarkan analisa segala bentuk kegiatan kekerasan/anarkis yang mengatasnamakan agama tidak dapat dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia karena dalam Undang-Undang Dasar Pasal 28E ayat (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan dalam kasus ini telah terjadi perbuatan kelompok yang menghalangi dan membatasi hak untuk beribadat menurut agamanya. Selain melanggar hak asasi manusia dalam kasus ini juga terdapat pelanggaran sila pertama dari Pancasila yakni “Ketuhanan yang maha esa” karena tidak menghormati dan menghargai kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaan serta tidak menciptakan kerukunan antar umat beragama[7].
Dalam kasus pembubaran paksa diskusi peluncuran buku Irshad Manji yang berjudul “Iman,Cinta dan Kebebasan” diikuti aksi kekerasan yang terjadi di Salihara kawasan Jakarta Selatan awal Mei lalu, yang dilatarbelakangi oleh Pembubaran secara paksa oleh Polisi guna menghindari kekerasan karena terdapat organisasi massa yang tidak menghendaki acara itu berlangsung dan mengancam akan membubarkan acara tersebut dan menggunakan kekerasan, dan akhirnya diskusi itupun dibubarkan polisi karena telah terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh organisasi massa tersebut.[8] Irshad Manji sendiri adalah tokoh feminis Islam asal Kanada yang disebut oleh koran The New York Times sebagai "mimpi terburuk Osama bin Laden." Wanita 44 tahun kelahiran Uganda ini menuai kontroversi lantaran pemikirannya soal interpretasi baru Islam yang dia sebut "Islam Reformasi." Wanita yang mengaku seorang lesbian ini mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa Alquran memiliki banyak interpretasi yang mendorong umatnya untuk berpikir kritis, dan tidak asal terima. Manji mendukung penghormatan pada wanita, toleransi terhadap kaum homoseksual dan pernikahan beda agama.[9] Dengan latar belakang inilah mungkin organisasi massa tidak dapat menerima adanya diskusi/kegiatan berkumpul yang tentunya bertentangan dengan aqidah agama mereka. Berdasarkan analisa segala bentuk pembubaran kegiatan berkumpul apalagi disertai ancaman kekerasan tidak dapat dibenarkan dan melanggar hak asasi manusia karena dalam Undang-Undang Dasar Pasal 28E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan dalam kasus ini telah terjadi pelarangan/pembubaran secara paksa terhadap orang yang sedang berkumpul dan berserikat.
Dalam kasus protes penolakan dan ancaman kekerasan pada konser penyanyi luar negeri Lady Gaga yang rencananya akan diselenggarakan awal Juni ini, yang dilatarbelakangi oleh ketidakterimaan organisasi massa karena Lady Gaga terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan ajaran agama, isu-isu pemuja setan, dan isu-isu keagamaan lainnya.[10] Bahkan organisasi massa tersebut akan mengancam dengan aksi anarkis dan kerusuhan bila konser tetap berjalan, seperti yang dikatakan Ketua DPD Front ormas tersebut, Habib Salim Alatas menjamin akan terjadi kerusuhan di Jakarta bila konser Lady Gaga tetap digelar ormas tersebut akan datang ke Gelora Bung Karno untuk menghentikan konser. "Kalau terjadi konser silahkan saja, Jakarta akan rusuh. Meski FPI dibubarkan tidak masalah, tinggal dibentuk lagi, bisa Front Peduli Islam, kalau dibubarkan lagi bentuk Front Persaudaraan Islam. Pengurusnya dia-dia juga," katanya.[11] Meskipun dilatarbelakangi oleh ketidakterimaan atas ketidaksesuaian dengan agama dan budaya di Indonesia, tetapi mengancam dengan aksi kekerasan dan kericuhan tidak dapat dibenarkan dan tidak bertoleransi. Berdasarkan pasal 28E ayat (2) yang menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini dengan kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, telah terjadi pelanggaran hak asasi oleh organisasi massa tersebut dengan melarang orang-orang untuk menikmati musik/berekspresi seuai dengan hati nurani orang-orang tersebut. Kemudian dengan melarang dan menolak konser tersebut apalagi disertai ancaman kekerasan juga melanggar hak atas kebebasan pribadi yang terdapat dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Berdasarkan analisa kasus-kasus tersebut dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU N0 39 tahun 199 tentang HAM terdapat pelanggaran hak asasi manusia mulai dari hak kebebasan beragama dan beribadat, hak kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan hak kebebasan pribadi oleh organisasi massa tersebut. Indonesia yang merupakan negara demokrasi sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia walaupun Indonesia sendiri adalah negara yang multikultural, multiras, dan terdiri dari bermacam-macam agama, kepercayaan, dan aliran. Indonesia bukanlah milik kaum-kaum mayoritas namun Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan pancasila.
Oleh sebab itu, segala organisasi massa yang menimbulkan kekerasan, bersifat anarkis, menimbulkan ketakutan dan tentunya melanggar hak asasi manusia haruslah ditindak tegas oleh pemerintah, tidak perlu dibubarkan, sebab jika dibubarkan bisa saja organisasi tersebut dapat terbentuk kembali dan melakukan aksi-aksi anarkis lagi karena tidak ada Undang Undang di Indonesia yang melarang atau mencegah hal tersebut. Lebih baik diadakan penyuluhan atau peneguran kepada organisasi massa yang bersifat anarkis tersebut agar dalam menjalankan aksinya tidak menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap masyarakat, disertai pengawasan yang ketat dari pihak berwajib dan sanksi tegas bila terjadi pelanggaran. Misalnya dalam kasus Ciketing, kasus salihara, pelarangan konser Lady gaga jalan keluar bukanlah melalui pelarangan ibadah, penusukan pendeta, penyerbuan disertai kekerasan,ancaman akan melakukan kerusuhan, akan tetapi bisa melalui jalur musyawarah atau diskusi bersama untuk mencapai mufakat untuk sebisa mungkin menghindari jalur kekerasan.
Jadi, jika organisasi massa tersebut dapat menjalankan aksinya dengan damai, tidak menggunakan kekerasan serta anarkisme niscaya pelanggaran hak asasi di Indonesia yang berpenduduk majemuk dapat terselesaikan. Karena, pada intinya Indonesia adalah negara demokrasi dengan Pancasila sebagai dasar negara, bukan negara yang berdasarkan agama. Oleh sebab itu kita sebagai Warga Negara Indonesia harus menjunjung tinggi pluralisme dan kemajemukan bangsa dengan cara saling bertoleransi dan bila terjadi perbedaan pendapat atau konflik jangan menggunakan cara-cara yang anarkis, melainkan melalui cara-cara damai seperti musyawarah dan diskusi bersama agar terwujudnya masyarakat Indonesia yang madani dengan karakteristik wilayah publik yang bebas, demokrasi, pluralisme, keadilan sosial, dan tentunya toleransi[12].
[1] Sedarnawati Yasni,Citizenship (Bogor:Media Aksara,2010) hal.231.
[2] Sedarnawati Yasni, Citizenship (Bogor:Media Aksara, 2010) hal. 242.243.
[3] Sedarnawati Yasni, Citizenship (Bogor:Media Aksara, 2010) hal.249.
[4] Sedarnawati Yasni, Citizenship (Bogor:Media Aksara, 2010) hal.262.
[5] Ferdinand Waskita, “Apa Latar Belakang Kasus Penusukan Penatua Sihombing?,” http://www.tribunnews.com/2010/09/14/apa-latar-belakang-kasus-penusukan-penatua-sihombing (akses 26 Mei 2012)
[6] Badrul Tamam, “ Seruan membela mujahid korban insiden HKBP Ciketing-Latar belakang konflik Ciketing,” http://www.voa-islam.com/islamia/jihad/2011/01/06/12676/seruan-membela-mujahid-korban-insiden-hkbp-ciketing/ (akses 26 Mei 2012)
[7] Srijanti, A. Rahman, Purwanton S, Etika Berwarga Negara, (Jakarta: Salemba Empat, 2007) Hal.26.
[8] Aries Setiawan, “Kronologi Pembubaran Diskusi Salihara, “http://nasional.vivanews.com/news/read/310801-kronologi-pembubaran-dikusi-salihara (akses 27 Mei 2012)
[9] Denny Armandhanu, Oscar Ferri, :“ Diserbu FPI, Diskusi Buku Dibubarkan Polisi,” http://metro.vivanews.com/news/read/310777-diskusi-komunitas-salihara-dibubarkan-polisi (akses 27 Mei 2012)
[10] Eko Priliawito, Siti Ruqoyah, “Kenapa Konser Lady Gaga Resmi Dibatalkan,” http://fokus.vivanews.com/news/read/314071-konser-lady-gaga-resmi-dibatalkan (akses 30 Mei 2012)
[11] Eko Priliawito, Siti Ruqoyah, “Kenapa Konser Lady Gaga Resmi Dibatalkan,” http://fokus.vivanews.com/news/read/314071-konser-lady-gaga-resmi-dibatalkan (akses 30 Mei 2012)
[12] A Ubaedillah,Abdul Rozak,Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta:Kencana,2011) hal.193.
arief_setiadi_wirasukmatugas_kwn.docx |