Selama satu dekade terakhir, arus globalisasi menyebar di seluruh belahan dunia dengan derasnya, tak terkecuali di Indonesia. Globalisasi pada prinsipnya merupakan proses perubahan sosial budaya yang bersifat kolektif yang meningkatkan hubungan interdependensi antar masyarakat dunia secara universal.[1] Globalisasi memberikan dampak-dampak yang bersifat positif maupun negatif pada semua bidang kehidupan manusia. Secara garis besar, globalisasi menstimulus perkembangan dan penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dari itu, proses penyebaran informasi menjadi semakin efektif dan efisien akibat adanya kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Di Indonesia sendiri kemajuan tersebut sangat mendukung kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Contohnya melalui banyaknya pengguna telepon seluler di Indonesia dan tingginya penguasaan masyarakat akan internet walaupun belum tersebar secara merata ke seluruh nusantara. Pada Mei 2011, tercatat kurang lebih 53% dari 238 juta penduduk Indonesia telah menggunakan handphone.[2] Beberapa hal yang harus diperhatikan disamping kemajuan tersebut adalah transformasi pada perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat terutama pada generasi muda yang masih mencari jati dirinya. Dewasa ini, remaja cenderung mengikuti budaya barat yang mereka lihat di beragam media komunikasi dan beranggapan bahwa budaya tersebut terlihat lebih baik sehingga menilai kebudayaan asli Indonesia telah ketinggalan jaman. Lebih parahnya lagi, budaya barat yang negatif sering diinstitusionalisasikan oleh pemuda menjadi sesuatu yang wajar dan modern sehingga dianggap sebagai sesuatu yang pantas untuk dilakukan di jaman sekarang ini. Padahal tidak semua dari anggapan mereka itu benar. Apabila diperhatikan secara lebih mendalam, banyak perkembangan-perkembangan media yang justru bersifat merusak moral dan kepribadian pemuda itu sendiri. Hal inilah yang disinyalir sebagai penyebab menurunnya kualitas sumber daya manusia dari pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Semakin mengkhawatirkan melihat fakta bahwa merekalah yang nantinya akan menentukan nasib dan masa depan bangsa ini. Gaya hidup yang serba instan membuat mereka tidak mau berusaha dalam mencapai suatu tujuan sehingga muncul kebiasaan mengambil jalan pintas yang merelakan apa saja demi mendapatkan sesuatu. Apabila hal ini dibiarkan begitu saja hingga membentuk suatu keajegan sosial tertentu, tentu dapat membahayakan bangsa Indonesia karena masyarakatnya lebih mengejar kepentingannya masing-masing tanpa memperdulikan nilai dan moral bangsa yang seharusnya dipegang teguh oleh rakyatnya.
Pancasila adalah capaian demokrasi paling penting yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia.[3] Secara historis, Pancasila mengandung nilai-nilai lokal yang telah diterima dan disepakati bersama menjadi suatu ideologi atau dasar negara di Indonesia. Karena selain dapat mengakomodir kepentingan masyarakatnya, ia juga menjadi simbol persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku bangsa dan etnis melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika nya. Disini terlihat raison d’être Pancasila sebagai sistem filsafat dimana suatu sistem yang ideal haruslah dapat memberikan guidelines dan keuntungan bagi tiap individu yang ada di bawah sistem tersebut. Sistem membentuk dan mengatur bagaimana individu harus berperilaku dalam masyarakat sehingga daripadanya individu dapat menerima benefits atas wujud dari sistem tersebut. Pancasila terdiri atas lima bagian (sila) yang memiliki fungsi masing-masing namun secara keseluruhan memiliki hubungan keterkaitan yang sistematik. Sehingga pembacaan dan pemahamannya pun tidak dapat secara satu per satu.[4] Kelima sila tersebut diantaranya adalah :
1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Setelah rezim Orde Baru berakhir, pengamalan dari nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya semakin terpuruk. Banyak orang beranggapan bahwa Pancasila merupakan suatu propaganda yang dimanfaatkan oleh para elit politik untuk mempertahankan status quo jabatannya. Akhirnya Pancasila tidaklah lebih dari sekedar tulisan belaka yang sudah tidak relevan lagi. Hal ini memberikan celah bagi masuknya nilai dan budaya asing ke Indonesia yang seakan memberikan angin segar ditengah keadaan bangsa yang mengalami krisis kekeringan moral. Sejatinya bangsa Indonesia tetap bisa bertahan dengan dasar negaranya yang telah ada yakni Pancasila. Hanya saja diperlukan fleksibilitas dan tingkat relevansi yang tinggi bagi Pancasila dalam rangka reaktualisasi nilai dan moral bangsa agar dapat memberikan pemahaman dan tafsir baru sehingga dapat meminimalisasi kesenjangan yang muncul antara nilai lokal dengan nilai asing akibat krisis moral tersebut.
Memandang kasus dan fakta-fakta yang telah dibahas, sebenarnya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia tidaklah selalu memberikan efek negatif. Namun perlu diperhatikan bahwa seiring dengan kemajuan-kemajuan tersebut, terjadi transformasi dari pola pikir dan perilaku masyarakat dalam segala aspek kehidupan sosialnya. Sesungguhnya Pancasila bisa mencegah gejala penyimpangan sosial yang mungkin timbul akibat dampak negatif dari globalisasi. Hanya saja diperlukan pemahaman yang lebih relevan dan praktis agar dapat diresapi dengan baik oleh generasi muda sekarang. Sila pertama mengungkapkan bagaimana individu mempertanggung jawabkan hubungannya dengan Tuhan. Persoalannya ialah banyaknya orang yang hanya percaya saja keberadaan Tuhan, menjalankan semua perintah-Nya sesuai dengan kitab suci masing-masing, namun kurang memiliki kesadaran dan iman yang kuat mengenai alasan mengapa harus melakukan perintah dan menjauhi yang dilarang. Generasi muda haruslah mampu berpikir kritis dan memanfaatkan segala pengetahuan yang dimilikinya agar mau dan mampu untuk secara sadar mengimani masing-masing agama yang dianutnya. Dengan demikian secara langsung ia menyadari dirinya sebagai makhluk ciptaan-Nya yang memiliki hubungan khusus dan tanggung jawab kepada Sang Pencipta. Sehingga perbuatan-perbuatan yang menyimpang akibat pengaruh buruk arus globalisasi bisa dihindari. Sila kedua memiliki arti adanya manusia yang bermartabat dan memperlakukan sesamanya dengan adil. Di era globalisasi ini, dimana terdapat kemajuan yang pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi, hendaknya generasi muda tetap berpegang teguh pada prinsip dasar bangsa terutama asas gotong royong. Kemajuan tersebut bukanlah alasan bagi individu untuk menjadi individualistis, eksklusif dan menjadi tidak mempedulikan keadaan sosial di sekitarnya. Justru dengan adanya kemajuan tersebut hendaknya tiap individu memanfaatkan teknologi yang ada untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan dengan sesama sebagai bangsa Indonesia. Seperti yang digambarkan pada sila ketiga, dengan demikian hubungan antar warga negara semakin terjalin dengan harmonis. Sehingga ketidakadilan akibat kesenjangan dan diskriminasi dari segi ekonomi bisa diminimalisasi karena seluruh rakyatnya berupaya untuk mencapai kepentingan bersama (common good) dibandingkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini juga sekaligus akan mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” seperti yang digambarkan pada sila kelima. Karena dengan asas gotong royong dan mengutamakan kepentingan bersama terlebih dahulu, masyarakat secara bahu-membahu membangun dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih baik. Hal ini akan menyelamatkan Indonesia dari kemungkinan adanya gerakan separatisme yang bisa mengancam integrasi bangsa. Selanjutnya untuk mewujudkan nilai yang terkandung pada sila keempat, pemerintah sebagai sekelompok orang yang memerintah atas dasar kerakyatan dan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat juga harus mampu menjadi panutan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila selama menjalankan pemerintahan. Pemerintah harus mampu menjadikan Pancasila sebagai wacana publik khususnya kepada generasi muda. Jadikan Pancasila sebagai ideologi nasional yang berwawasan nusantara salah satunya melalui peningkatan kepercayaan rakyat kepada pemerintah agar rakyat tidak menjadi bersikap apatis namun tetap peduli terhadap isu-isu kenegaraan yang terjadi dan diharapkan mampu memberikan solusi dari masalah yang dihadapi oleh negara.[5]
Indonesia bukanlah negara yang memiliki paham liberalisme. Segala keputusan diambil berdasarkan mufakat dari proses musyawarah terlebih dahulu. Maka tidak bisa individu memaksakan kehendaknya sendiri dan tidak bisa ia berdiri sendiri dengan mengejar interest pribadinya. Segala tindakan pasti memiliki dampak bagi lingkungan sekitar. Sebagai generasi muda hendaknya kita menjadi diri sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang kita miliki dalam budaya Indonesia. Pancasila harus dijunjung tinggi dan diterapkan secara kolektif dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Dengan demikian, sekalipun terjadi perubahan akibat mengikuti gaya hidup yang modern, masyarakat bisa mengantisipasi bahkan memanfaatkannya dengan baik sehingga kesenjangan-kesenjangan yang muncul akibat ketidaksiapan dalam menghadapi arus globalisasi bisa dikurangi.
[1] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta : Indonesian Center for Civic Education, Kencana, 2008), hal.25. Globalisasi pada prinsipnya merupakan suatu perubahan sosial dalam bentuk semakin bertambahnya keterkaitan antara masyarakat dengan faktor-faktor yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi modern dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
[2] Hendra Gunawan, “Pengguna Ponsel Naik Menjadi 53%” http://www.tribunnews.com/2011/05/31/ (akses 21 May 2012). Berdasarkan survei dari Nielsen, dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, persentase pengguna ponsel di Indonesia meningkat paling besar, yaitu dari 23 persen menjadi 53 persen dalam empat tahun terakhir.
[3] Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta : Indonesian Center for Civic Education, Kencana, 2008), hal.22. Pancasila adalah wujud demokrasi paling penting yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa yang tidak lain merupakan sebuah konsensus nasional bangsa Indonesia yang majemuk.
[4] Sedarnawati Yasni, Citizenship(Jakarta : Media Aksara, 2009), hal.149. Rumusan Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Masing-masing sila memiliki fungsi sendiri-sendiri, saling berhubungan dan saling ketergantungan untuk mencapai suatu tujuan tertentu secara keseluruhan.
[5] Srijanti,dkk.,2003,Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Menggembangkan Etika Berwarga Negara,Jakarta:Salemba Empat. Hal 24-33. Implementasi Sila-sila pada Pancasila.