Oleh: Shella Fadela (1111002049)
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang dikenal dengan keragaman budayanya, mulai dari suku, bahasa dan adat-istiadat. Kekayaan budaya yang melintang dari Sabang hingga Merauke. Yang memprihatinkan adalah kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia tersebut hanya menjadi hiasan semata. Di era globalisasi saat ini, nilai-nilai budaya yang di tiap-tiap daerah di seluruh wilayah nusantara tampak mulai pudar.
Hallyu atau Korean Wave (Gelombang Korea), istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia, sudah cukup lama mewabah di Indonesia. Berawal dari drama korea yang sukses menarik perhatian, membuat pikiran masyarakat terbuka akan korea. Sejak saat itu cita rasa khas Korea menjadi warna baru di tanah air tercita ini. Bisa dilihat dari menjamurnya boyband dan girlband Indonesia yang meraih sukses karena “meniru” para seniman Korea, baik dari segi fashion, bit musik sampai gaya hidup.
Dewi (23), misalnya, seumur-umur tidak pernah mengubah rambutnya yang hitam dan lurus panjang hingga pinggang. Namun, setelah kepincut penampilan artis Korea, ia memotong rambut dan mengecatnya menjadi coklat. Ujung rambutnya dibuat ikal mirip gaya rambut sejumlah artis top Korea. ”Saya tidak mencontoh penampilan artis Korea tertentu. Pokoknya gayanya harus Korea,” kata Dewi yang ditemui di Salon Johnny Andrean Plaza Semanggi, Rabu.[1]
Namun dengan hadirnya fenomena demam Korea ini seolah kita lebih mencintai budaya asing ketimbang budaya nenek moyang kita sendiri. Bangsa Indonesia terutama para generasi mudanya, kian dianggap melupakan jati dirinya sendiri sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang besar. Tidak hanya besar karena menghuni sebuah teriotorial yang luas dan penduduk yang banyak, akan tetapi besar karena memiliki banyak nilai-nilai budaya yang layak untuk dipertahankan dan dipertunjukkan ke pentas dunia. Selain itu banyak pihak yang menilai, bahwa bangsa Indonesia miskin kreatifitas, bisanya hanya meniru dan bersifat latah. Kalau hanya sebatas meniru mungkin tidak mengapa, tapi dibalik itu mereka juga melupakan budaya sendiri bahkan terkadang mencemoohnya, sebagai budaya kampungan, budaya kolot dan tidak pantas pentas di panggung internasional.
Membangun Nasionalisme baru
Perkembangan yang terjadi dan kecenderungan di masa ini adalah proses globalisasi yang menantang dominasi negara dengan semakin meleburnya batas-batas yang secara riil maupun artifisial dibuat pada masa sebelumnya. Semakin meluasnya budaya konsumerisme pada budaya asing dalam skala besar akan menerobos batas-batas geografis dan budaya. Untuk itu upaya memulihkan kembali wawasan kebangsaan sebagaimana dilakukan dan dipahami oleh para founding fathers kita menjadi relevan dan mendesak.[2]
Wawasan kebangsaan sebagai kebutuhan yang dirasakan oleh warga negara merupakan landasan penting dalam memasuki abad global. Namun dengan mewabahnya budaya korea ini, wawasan kebagsaan mengalami kemerosotan dan sosoknya menjadi tidak jelas. Identitas bangsaselalu merupakan sesuatu yang intersubjektif. Keberadaannya selalu ditentukan bersama dengan yang lain. Pemaknaan identitas nasional suatu negara oleh karenanya bisa dicari melalui pemahaman budaya yang tertanam dalam masyarakat.[3] Dengan melakukan penemuan kembali (recovery) dan reintrepretasi akan identitas bangsa, akan tumbuh nasionalisme baru untuk mengantisipasi “serangan” budaya luar.
Proteksi Pelaku Industri Budaya
Salah satu cara membangun intersubjektif demi terwujudnya identitas kolektif, suatu bangsaperlu memproteksi pelaku industri budaya (culture industries).[4] Culture Industries yang dimaksud adalah industri-industri yang memperlihatkan budaya atau karakteristik dan ide mengenai suatu negara misalnya lewat industri film, musik, siaran radio dan televisi, buku, dan lainnya.
Culture industries dapat menegaskan kembali mengenai identitas nasional mereka agar loyalitas kepada negara terbangun. Dari perfilman misalnya, culture industries harus mampu membuat tayangan cerdas yang mampu mengangkat nilai-nilai kebangsaan yang hampir dilupakan masyarakat. Seperti film Nagabonardan Laskar Pelangi yang berusaha memperlihatkan aktualitas nilai nasionalisme di tengah zaman yang sudah berubah. Atau dengan musik, yang berpotensi sebagi pemersatu bangsa, harus mampu menawarkan kekhasan Indonesia yang patut kita bawa ke kancah internasional. Dangdut misalnya, bila digarap dengan maksimal dengan memberikan nilai didalamnya, bukan tidak mungkin dapat mengalahkan aliran K-Pop
Itulah yang seharusnya terus diangkat untuk menjadi “lem perekat” emosional diantara masyarakat Indonesia. Rekonseptualisasi identitas nasional Indonesia bisa dimulai dan dimaknai dengan cara memandang kita oleh kebiasaan kita sendiri, atau dengan kata lain melihat realitas yang ada dalam masyarakat.
Jangan Hanya Jadi Follower
Masuknya budaya negeri asing ke dalam negeri kita seharusnya menjadi kesempatan bagus bagi anak–anak bangsa untuk mendapatkan pemahaman baru mengenai budaya lain dan dengan begitu dapat menghasilkan karya–karya baru secara maksimal. Namun tidak semua dari bangsa Indonesia dapat memahami tujuan positif tersebut. Beberapa dari kalangan terutama kaum remaja menjadi terobsesi dan akhirnya lebih memincintai budaya asing daripada budaya bangsanya sendiri.
Bangsa Indonesia memiliki kecerdasan, kreatifitas dan kesempatan yang tidak kalah dengan negara lain. Tinggal bagaimana dukungan pemerintah dan culture industries menyulap industri kreatif Indonesia.
Hadirnya gelombang korea di dunia tidak terlepas dari dukungan pemerintah Korea Selatan. Bahkan untuk memajukan pasar musiknya di tingkat global Korea Selatan mengambil kebijakan antibarat. Pemerintah melarang musik asing dan dikembangkanlah musik yang harus mencerminkan identitas nasional.
Itulah yang harus ditiru oleh masyarakat Indonesia, memiliki akar yang kuat, ditunjang oleh manajemen yang baik dan dukungan pemerintah. Meniru boleh tapi harus mampu dideferensiasi sekreatif mungkin untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan lebih baik. Meminjam pendekatan pemasaran, diferensiasi menjadi faktor unik dan nilai tambah untuk menarik perhatian konsumen industri kreatif Indonesia.
Meningkatkan Kepercayaan Publik
Faktanya orang Indonesia saat ini memang lebih menyukai hal-hal berbau luar, yang memang dari segi kuantitas maupun kualitas sangatlah sulit bagi produk nasional untuk bisa bersaing. Hal ini terjadi karena tidak adanya kepercayaan dan rasa cinta terhadap negara Indonesia.
Solusi yang seharusnya ada nantinya adalah bukan dengan memboikot budaya luar dengan tidak memasarkannya ke masyarakat. Bangsa Indonesia harus mampu memberikan kualitas yang tidak kalah dengan bangsa asing. Kita harus menggali potensi dari dalam diri kita sendiri. Dengan selalu memberikan kualitas terbaik untuk masyarakat, sudut pandang atau pola pikir baru akan tumbuh di masyarakat dalam melihat produk lokal. Masyarakat akan memiliki rasa bangga untuk memakai produk nasional, dan jiwa nasionalisme baru pun akan lahir.
[1] “’Gelombang Korea’ Menerjang Dunia”, Kompas, 15 Januari, 2012.
[2] Muhammad A.S, Hikam, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 105.
[3] Patricia M. Goff, Invisible Borders: Economic Liberalization and National Identity, (Oxford: Blackwell Publishers, 2000), hal. 544.
[4] Pandu Utama Manggala, “GLOBALISASI vs NASIONALISME : Mencari Identitas Bangsa,” http://sekdilu35.wordpress.com/2010/07/23/globalisasi-vs-nasionalisme-mencari-identitas-bangsa/ (akses 25 Mei 2012).
pencarian_identitas_nasional_di_tengah_melandanya_demam_korea.docx |