Oleh: Rini Puspita Julianti (1111002078)
Menjadi TKI merupakan jalan yang dipilih sebagian masyarakat yang disebabkan oleh kurangnya penyerapan lapangan kerja di dalam negeri. Selain itu, orang mau menjadi TKI karena tingkat upah di luar negeri lebih menggiurkan dibanding upah di dalam negeri. Dari segi sosial, seorang TKI mempunyai kebanggaan tersendiri karena bisa bekerja di luar negeri walau hanya menjadi pekerja domestik. Begitulah tujuan awal yang ada di benak mereka sehingga akhirnya mereka ingin atau secara terpaksa menjadi seorang TKI.
Kali ini kita akan membahas tentang TKI di Malaysia. Mengapa Malaysia? Karena TKI terbanyak dikirimkan ke negara serumpun kita itu. Hal ini mungkin karena untuk bekerja di Malaysia, TKI tidak perlu belajar banyak mengenai budaya dan bahasa di sana sebab bahasa mereka mirip dengan bahasa Indonesia. Selain itu, tentunya tujuan utama mereka adalah untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi di sana. Namun, sayangnya banyak kasus mengenai TKI di sana seperti kasus TKI melarikan diri, penganiayaan, pelecehan seksual, bahkan sampai ke hukum pancung.
Berikut kasus terkait tentang masalah penembakan TKI di Malaysia beberapa waktu yang lalu.
Baru-baru ini, tanggal 25 Maret 2012, kembali terdengar kabar mengenai tertembaknya tiga orang TKI di Malaysia. Penembakan dilakukan atas dugaan para TKI melakukan upaya perampokan di kawasan Kampung Tampin Kanan Tinggi, Port Dickson, Negeri Sembilan. Para TKI berusaha melawan hingga polisi melepaskan tembakan berkali-kali ke bagian wajah dan tubuh atau dada, yang kemudian membuat ketiganya meninggal dengan cara mengenaskan.[1]
Kasus tersebut bukanlah kasus baru yang terjadi di Malaysia. Sebelumnya ada 3 kasus penembakan serupa di Malaysia seperti kasus di atas yang masih menggantung kepastian hukumnya. Selain kasus penembakan tadi, masih banyak juga kasus-kasus kekerasan yang menimpa TKI di negeri Jiran tersebut yang sebagian besar kurang mendapat perhatian dari pemerintah dalam penyelesaian kasusnya. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalahTKI di luar negeri masih belum begitu diperhatikan oleh pemerintah karena selama ini kebanyakan masalah TKI baru akan dipaparkan setelah adanya kasus yang menimpa mereka di negeri orang.
Banyak penyebab yang mengakibatkan terjadinya kasus mengenai pelanggaran HAM terhadap TKI di luar negeri. Contohnya saja, sebagian besar TKI di luar negeri merupakan pekerja domestik (PRT) yang rentan terhadap perlakuan tidak manusiawi oleh majikannya. Apalagi ditambah dengan banyaknya TKI ilegal yang membuat perlindungan hukum mereka jadi tidak bisa dijalankan. Demikian pula lemahnya perlindungan Indonesia terhadap TKI, justru dapat menambah persoalan baru baik di bidang sosial maupun politik karena menyangkut hubungan antarnegara.[2]
Selain masalah perlindungan hukum, ada lagi masalah yang amat mendasar, yaitu soal kontrak. Pemerintah harus terlibat dalam kontrak mereka, biar TKI kita terlindungi bila terjadi sesuatu dengan mereka.[3] Kemudian hal mengenai terbatasnya skill dan intelektual para TKI juga menjadi penyebab mengapa sering terjadi kasus semacam penganiayaan atau kekerasan pada para TKI.
Lalu, sebenarnya sudahkah dilakukan perlindungan hak TKI oleh pemerintah beserta lembaga penyalur yang bersangkutan?
Perlindungan TKI sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri. Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya yang hanya berupa peraturan menteri (TAP MPR No. III Tahun 2000), peraturan TKI yang sekarang diatur dalam UU tersebut sudah memiliki peningkatan dari segi kekuatan hukum.[4] Maka dalam implementasinya, seharusnya UU ini dapat lebih membantu mengatasi permasalahan tentang perlindungan hak-hak TKI dari penempatan hingga kembali lagi ke Indonesia.
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2004 tersebut, perlindungan terhadap TKI yang bekerja ke luar negeri meliputi perlindungan TKI pra penempatan, selama penempatan, dan purna penempatan.
Pada bagian perlindungan TKI pra penempatan, salah satunya dijelaskan mengenai pemberian informasi kepada calon TKI yang dilakukan oleh PPTKIS. Informasi tersebut meliputi[5] :
1. tata cara perekrutan,
2. dokumen yang diperlukan,
3. hak dan kewajiban TKI,
4. situasi, kondisi, dan risiko di negara tujuan, dan
5. tata cara perlindungan bagi TKI
Dari peraturan di atas terlihat bahwa sudah diberlakukan salah satu bentuk perlindungan terhadap TKI oleh pihak pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS). Saat pra penempatan, peraturan di atas memberikan suatu informasi agar para TKI paham terlebih dahulu mengenai prosedur yang harus mereka jalankan, sebelum mereka diberangkatkan ke negara tujuan. Namun, terkadang banyak calon TKI yang menghindari rumitnya birokrasi yang ada sehingga peraturan-peraturan ini sering kali terlewatkan. Selain dari sisi TKI, penyeleksian calon TKI yang lebih ketat pun diperlukan guna menghindari hal-hal berupa kasus pelanggaran akan hak-hak mereka. Misalnya, seorang TKI pekerja domestik benar-benar dipastikan bahwa mereka bisa menggunakan bahasa negara tujuan dengan baik. Setidaknya mereka paham dan bisa berkomunikasi dengan baik dengan majikan mereka sehingga tidak terjadi misscommunication antara TKI dan majikan yang menyebabkan terjadinya perlakuan majikan yang semena-mena.
Menurut data Imigrasi Malaysia ada dua juta TKI di Malaysia yang terdiri atas 1,2 juta TKI legal dan 800.000 ilegal telah bermukim di Malaysia sampai dengan tahun 2007-2008.[6] Berdasarkan data tersebut, jumlah TKI legal dan ilegal hampir sama besarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kurang ketatnya pengawasan terhadap oknum-oknum yang bisa meloloskan TKI ilegal ke luar negeri. Kemudian ditambah lagi masalah proporsi TKI pekerjaan domestik yang lebih mendominasi dibanding TKI pada sektor formal.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah TKI dari segi perlindungan hak mereka?
Maraknya kasus TKI disebabkan oleh TKI yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat lapangan pekerjaan di Indonesia yang kurang memadai. Maka dari sini yang perlu dilakukan adalah dengan menambah lapangan pekerjaan di dalam negeri atau mungkin dengan memberdayakan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Kemudian, selama ini banyak permasalahan TKI yang terjadi pada TKI informal. Untuk itu, sebaiknya pemerintah membatasi TKI informal ini, dan lebih mengedepankan TKI formal. Sedangkan untuk penanggulangan masalah perlindungan HAM sendiri diperlukan pembekalan dan pembinaan keahlian serta intelektual bagi TKI, supaya mereka itu bisa bekerja dengan baik sesuai dengan bidangnya dan mengerti sepenuhnya tentang hak-hak yang mereka miliki. Maka diperlukan adanya perlindungan hukum yang tegas oleh pemerintah misalnya dengan adanya biro konsultasi hukum di negara penempatan yang berfungsi sebagai tempat TKI yang bermasalah agar bisa mengadukan masalahnya.
Namun, jangan selalu menganggap bahwa semua yang menyangkut TKI adalah negatif. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa TKI yang menuai kisah suksesnya karena pendapatan yang diterimanya bisa mereka jadikan untuk membangun usaha di dalam negeri atau bahkan mereka gunakan pendapatannya untuk menuntut ilmu lebih tinggi lagi. Salah satu contoh mantan TKI yang sukses adalah Ruyati, yang kini menjadi seorang dosen.[7]
Dengan demikian, perlindungan hak TKI ini memang begitu penting karena mereka sudah banyak berkontsibusi untuk negara kita ini. Hal yang menjadi permasalahan bukan semata-mata karena pemerintah, tetapi dari segi calon TKI itu sendiri yang harus benar-benar paham akan pekerjaannya menjadi TKI, paham akan kontrak kerja mereka, serta benar-benar siap untuk membawa nama baik Indonesia dengan menjadi pekerja di negeri orang. Oleh karena itu, memang yang terpenting bagaimana sosialisasi TKI itu dilakukan oleh pemerintah dan pengawasan terhadap hak-hak mereka yang harus selalu dipantau secara berkelanjutan.
[1] M A Hailuki, “3 TKI Diberondong Peluru 5 Polisi Malaysia,” http://nasional.inilah.com/read/detail/1855261/3-tki-diberondong-peluru-5-polisi-malaysia (akses 27 Mei 2012)
[2] Prijono Tjiptoherijanto, Laila Nagib, Pengembangan Sumber Daya Manusia: di antara Peluang dan Tantangan (Jakarta : LIPI Press, 2008), hlm. 93.
[3] Hamid Awaludin, Solusi JK : logis, spontan, tegas, dan jenaka (Jakarta : Grasindo,2009), hlm. 37.
[4] Dr. Lalu Husni, S.H., M.Hum., Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (rev. ed.;Jakarta: Rajawali Pers,2010), hlm. 100.
[5] Ibid.,hlm.109.
[6] Ahmad Hudaifah, “Akar Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia”, http://news.detik.com/read/2010/01/21/181232/1283590/471/akar-permasalahan-tenaga-kerja-indonesia-di-malaysia (akses tanggal 28 Mei 2012)
[7] Zulham Mubarak, “Kisah Para Mantan TKI yang Memanen Sukses di Tanah Air”, http://papahende.multiply.com/journal/item/153 (akses 28 Mei 2012).
refleksi_kewarganegaraan_1.docx |